bilaterals.org logo
bilaterals.org logo
   

Surat terbuka Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi kepada DPR RI untuk menghentikan proses ratifikasi dan perundingan FTA menjelang pemilu 2019

Konferensi Pers Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi

Surat Terbuka - 14 March 2019

Surat terbuka Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi kepada DPR RI untuk menghentikan proses ratifikasi dan perundingan FTA menjelang pemilu 2019

Kepada Yth.
Bapak H. Bambang Soesatyo, SE., MBA.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI

Bapak Ir. H. Teguh Juwarno, M.Si
Ketua Komisi VI DPR RI

Dengan hormat,

Kami, yang bertanda tangan dibawah ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi yang terdiri dari gabungan beberapa organisasi kelompok masyarakat sipil Indonesia, yaitu sebuah koalisi yang bergabung untuk mengkritisi perjanjian perdagangan dan investasi internasional yang berpotensi berdampak terhadap hilangnya kewajiban negara dalam rangka pemenuhan hak ekonomi, politik, sosial dan budaya rakyat Indonesia.

Bersama surat ini, kami hendak menyampaikan beberapa pandangan kritis kami kepada Ketua DPR RI dan Komisi VI DPR RI terkait dengan berbagai perjanjian perdagangan dan investasi internasional yang sedang dirundingkan maupun yang sudah selesai dirundingkan dan siap untuk masuk dalam proses ratifikasi. Ada pun pandangan kami disampaikan sebagai berikut:

1. Proses Yang Tidak Demokratis & Tidak Transparan

Bapak Bambang dan Bapak Teguh yang kami hormati,

Pada 11-15 Maret 2019, Pemerintah Indonesia sedang merundingkan Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnerhsip Agreement (IEU CEPA). Dan pada 18-25 February 2019 yang lalu Pemerintah Indonesia melakukan perundingan Regional Comprehensive Economic Agreement (RCEP) antara ASEAN dengan 6 negara mitra ekonominya. Bahkan pada 4 Maret 2019, Indonesia telah menandatangani Indonesia-Australia CEPA, dan pada 16 Desember 2018, Inonesia telah menandatangani Indonesia-Europe FTA atau EFTA. Termasuk pada 11 Oktober 2018 Indonesia menandatangani perjanjian investasi bilateral dengan Singapura.

Kami sangat berharap bahwa bapak mengetahui mengenai peristiwa penting tersebut diatas bagi kehidupan rakyat Indonesia. Termasuk, harapan kami, bahwa bapak juga mengetahui apa isi dan komitmen liberalisasi yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia.

Namun sangat disayangkan, bahwa dari seluruh perjanjian perdagangan dan investasi internasional, baik yang sedang dirundingkan maupun yang telah selesai dirundingkan, tidak pernah dibuka informasinya kepada publik, khususnya mengenai isi atau teks perjanjiannya termasuk komitmen liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan, proses konsultasi pun tidak dibuka kepada publik sehingga kami, sebagai rakyat kesulitan untuk dapat terlibat secara aktif dalam memberikan masukan kepada para pembuat kebijakan.

Kami menilai bahwa proses perundingan sangat tidak demokratis. Bahkan DPR RI pun selaku perwakilan rakyat, tidak pernah membuka ataupun mengundang masyarakat sipil untuk ikut memberikan pandangan terhadap analisis dampak yang akan ditimbulkan oleh perjanjian perdagangan dan investasi internasional tersebut.

Apakah kami, sebagai rakyat, tidak layak untuk memberikan masukan kepada wakil rakyat di gedung DPR?. Padahal kami sudah beberapa kali mengirimkan surat permohonan untuk audiensi baik kepada Komisi VI maupun I, tetapi tidak pernah ada responnya sampai saat ini. [1]

2. FTA Akan Berdampak Terhadap Kedaulatan Negara Dalam Membuat Regulasi Nasional

Bapak Bambang dan Bapak Teguh yang terhormat,

Perlu diketahui bahwa Perjanjian perdagangan dan investasi internasional tidak hanya mengatur soal ekspor–impor saja, melainkan mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat terkait hak kekayaan intelektual, pertanian dan pangan, kesehatan, pendidikan, ekonomi digital, dll.

Bagi kami, FTA tidak hanya sekedar merundingkan akses pasar, tetapi pemerintah juga merundingkan “Rules” yang berisi mengenai prinsip-prinsip atau aturan hukum mengenai bagaimana negara menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan perjanjian, termasuk tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan negara dalam membuat regulasi domestic.

Ketentuan “Rules” dalam FTA juga dianggap berpotensi menimbulkan dampak sosial dan HAM serta bertentangan dengan Konstitusi. Misalnya, soal prinsip transparansi, non-diskriminasi, regulation coherence (harmonisasi hukum nasional), mekanisme penyelesaian sengketa, Rachet, Standstill, larangan performance requirement, termasuk rules yang berkaitan dengan bab perjanjian terkait perdagangan lainnya seperti perlindungan HAKI dan investasi asing.

Karena dampaknya yang luas tersebut, Perjanjian perdagangan dan investasi harus dianggap sebagai perjanjian yang amat penting sehingga DPR RI, selaku wakil rakyat, wajib mengawasi, mengkritisi, dan menganalisis dampak yang akan ditimbulkan dalam jangka panjang oleh perjanjian-perjanjian tersebut. Oleh karena itu, seharusnya peran DPR RI harus sudah hadir dan aktif pada saat Pemerintah Indonesia merencanakan, merundingkan, hingga akan masuk dalam proses ratifikasi.

Selama ini, kehadiran DPR dalam pembahasan perjanjian perdagangan dan investasi internasional hanya hadir di dalam proses akhir sebelum ratifikasi, yakni hanya sebagai pemberi stempel tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya bagi bangsa dan negara dalam jangka waktu panjang. Karena, perjanjian ini akan berdampak juga kepada kedaulatan negara dan berpotensi bertentangan dengan
Konstitusi.

3. Panik Soal Kinerja Ekspor, Solusinya Bukan FTA

Bapak Bambang dan Bapak Teguh yang mulia,

Gejolak ekonomi global yang berdampak terhadap defisit transaksi berjalan Indonesia kerap memunculkan kepanikan Pemerintah Indonesia. Bahkan menurunnya kinerja perdagangan Indonesia terus memberikan tekanan terhadap ekonomi nasional. Pada akhirnya, desakan merampungkan berbagai perundingan perjanjian perdagangan secepatnya menjadi pilihan pragmatis Pemerintah dalam rangka meningkatkan kinerja ekspor.

Bagi kami, kebijakan yang dipilih ini menunjukan bahwa mindset pemerintah sangat sempit melihat kerjasama perdagangan, yaitu hanya ekspor dan impor. Karena jika pemerintah hanya mengejar target meningkatkan nilai ekspor dalam waktu dekat, caranya bukan dengan menandatangani banyak FTA. Tetapi selesaikan lah pekerjaan rumah yang masih menghambat daya saing Indonesia.

Koalisi mencatat, ada 3 hal yang menjadi penyebab menurunya kinerja ekspor Indonesia akibat daya saing Indonesia yang rendah: Pertama, ekspor Indonesia masih mengandalkan ekspor bahan mentah dan komoditas yang tidak memiliki nilai tambah; Kedua, produk komoditas unggulan Indonesia masih didominasi dengan produk rendah teknologi; dan Ketiga, trade creation pada liberalisasi perdagangan terus menciptakan ketergantungan yang tinggi pada produk impor.

Menurut data koalisi, [2] bukti bahwa FTA bukan solusi meningkatkan ekspor karena rata-rata pemanfaatan FTA oleh Indonesia dalam mendorong kinerja ekspor Indonesia masih sangat rendah yakni hanya sebesar 30% sampai 35%. Bahkan, dengan semakin banyak FTA ditandatangani semakin berpotensi membuka pintu impor Indonesia, dan bukan sebaliknya.

Analisis kritis koalisi terhadap Indonesia-Australia CEPA juga berpotensi meningkatkan impor. Kerjasama ini justru hanya akan menambah impor ketimbang ekspor. Hal ini karena signifikansi pembukaan akses pasar produk pertanian termasuk perkebunan yang dimiliki Indonesia ke Australia tidak ada. Hal ini karena dalam Fact Sheet yang dirilis oleh Kemendah menyatakan bahwa selama ini Australia telah membuka tariff hingga 0% untuk produk pertanian Indonesia seperti: kopi, karet, kayu, coklat, dan kertas. [3]. Konsep economic powerhouse yang diusung akan meningkatkan penggunakan bahan baku produk pertanian asal Australia untuk dioleh di Indonesia dalam industry makanan olahan, ketimbang menggunakan dan menyerap produk pertanian lokal yang dapat memberikan efek terhadap kesejahteraan petani lokal. Tentunya, eksposure produk impor asal Australia terhadap Indonesia akan semakin tinggi, dan defisit perdagangan antara Indonesia dan Australia akan tetap berlanjut. [4]

Terlebih, luasnya aspek perdagangan yang saat ini juga mengatur bab pengadaan barang dan jasa publik di dalam CEPA (Bab Government Procurement) akan berpotensi meningkatkan angka impor di dalam kerjasama ekonomi tersebut. Apalagi beberapa proyek strategis pengadaan barang dan jasa tidak dapat dibatasi hanya menggunakan produk lokal yang disediakan hanya oleh pelaku usaha lokal. Dan ini akan bertolak-belakang terhadap ketentuan kewajiban TKDN yang selama ini didorong pemerintah.

4. Peran DPR RI dalam Memastikan Perlindungan Kepentingan Rakyat Yang Diamanatkan Dalam Konstitusi

Bapak Bambang dan Bapak Teguh yang mulia,

Koalisi kami, telah memenangkan Gugatan Judicial Review Terhadap Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Terhadap UUD RI 1945 di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan atas perkara No.13/PUU-XVI/2018 bahwa persoalan perdagangan, ekonomi, investasi, pajak berganda, bahkan utang luar negeri dapat menjadi bagian dari perjanjian internasional yang berdampak luas yang membutuhkan persetujuan rakyat, dalam hal ini melalui DPR RI. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 11 UUD RI 1945 yang berbunyi: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Oleh karena itu, Putusan MK tersebut diatas telah mengukuhkan kembali peran penting DPR RI dalam memastikan perlindungan hak-hak dan kepentingan masyarakat yang dilindungi dalam Konstitusi. Sehingga, konsekuensi logis yang harus dilakukan oleh DPR RI terkait dengan perjanjian perdagangan dan investasi internasional adalah:

  • Melakukan penilaian analisis dampak secara comprehensive oleh DPR RI sebelum memberikan persetujuan atas sebuah perjanjian perdagangan dan investasi atas dampaknya terhadap ekonomi, sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia. Hasil dari penilaian dampak inilah yang harus menjadi landasan argumentasi bagi DPR RI dan Pemerintah untuk meratifikasi sebuah Perjanjian perdagangan dan investasi Internasional.
  • Wajib membuka informasi atau teks dan melibatkan rakyat secara luas dalam proses konsultasinya untuk mendapatkan pandangan rakyat mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari perjanjian tersebut terhadap beban keuangan negara yang membebani publik dan terhadap pembentukan undang-undang yang baru.

Maka, kami mendesak kepada DPR RI untuk melakukan kajian kritis secara aktif terhadap perjanjian perdagangan dan investasi internasional sebelum memberikan keputusan atau persetujuan, khususnya terhadap beberapa perjanjian yang sudah selesai dibahas dan akan masuk pada tahap ratifikasi seperti Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Europe FTA (IEFTA), dan Indonesia-Singapura Bilateral Investment Treaty (BIT).

5. Tunda Proses Ratifikasi dan Perundingan FTA Menjelang Pemilu 2019

Bapak Bambang dan Bapak Teguh yang mulia,

Kami mohon jangan pertaruhkan nasib ratusan juta rakyat Indonesia dalam agenda pemilu 2019 ini. Kami sangat khawatir karena kesibukan bapak dan anggota DPR RI lainnya dalam kampanye Pemilu 2019 pada akhirnya lupa dengan tugas dan kerja bapak di kantor. Dan Pada akhirnya isu yang dibahas dalam puluhan bab dan ratusan halaman perjanjian tidak akan mampu dibahas dan dikritisi secara serius serta dianalisis dampaknya secara komprehensive oleh anggota DPR RI.

Apalagi, survey yang dilakukan oleh IGJ tahun 2018 kepada publik mengenai sejauh mana peran DPR RI dalam melindungi hak-hak masyarakat pada perjanjian perdagangan bebas, menghasilkan kesimpulan: “sebanyak 64,8% masyarakat menilai bahwa Parlemen kurang serius mengambil peran dalam mengawasi perjanjian perdagangan bebas. Dan 50% masyarakat menilai bahwa mereka ragu jika Anggota DPR RI mengetahui isi dari perjanjian perdagangan bebas”.

Ambisi Pemerintah Indonesia untuk merampungkan berbagai perundingan perjanjian perdagangan dan investasi, termasuk untuk mempercepat proses ratifikasi sebelum Pemilu 2019 akan mengabaikan hak dan nasib rakyat. Hal ini karena, kesibukan Pemillu 2019 membuat kinerja anggota DPR RI menurun dan kerap tidak hadir di dalam rapat-rapat penting yang membahas nasib rakyat. Dan hal ini dapat berdampak terhadap hilangnya proses pengawasan maupun pengawalan perundingan perjanjian.

Kami mendesak kepada DPR RI agar menunda terlebih dahulu atau moratorium segala bentuk pembahasan proses ratifikasi maupun perundingan perjanjian perdagangan dan investasi internasional menjelang pemilu. Penundaan ini dilakukan demi memastikan bahwa hak-hak dan nasib rakyat Indonesia tetap terlindungi sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.

Demikian surat kami kepada Ketua DPR RI dan Ketua Komisi VI DPR RI sekalian, semoga dapat diterima dengan baik dan dapat segera ditindak-lanjuti secara seksama.

Hormat Kami,

1. Indonesia for Global Justice (IGJ)
2. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
3. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
4. Serikat Petani Indonesia
5. Solidaritas Perempuan
6. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
7. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
8. Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
9. Indonesia Aids Coalition (IAC)
10. Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
11. Abdul Rosid Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia
12. Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi
13. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)
14. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
15. Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (F-SERBUK)
16. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI)

Footnotes:

[1Surat permohonan No.027/IGJ.DE/10/2016; Surat Permohonan No.069/IGJ-DE/X/2018; Surat No.002/IGJ-DE/I/2019

[2ASEAN FTA, ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, Indonesia-Japan EPA

[4Catatan Kritis IGJ Tentang IA CEPA, Jakarta, 4 Maret 2019


 source: