bilaterals.org logo
bilaterals.org logo
   

Perjanjian RCEP berpotensi luas terhadap kehidupan rakyat, DPR RI harus melakukan kajian dampak sebelum menyetujui ratifikasi

Photo from Indonesia for Global Justice
Indonesia for Global Justice

Indonesia for Global Justice - 14 Oktober 2021

Perjanjian RCEP berpotensi luas terhadap kehidupan rakyat, DPR RI harus melakukan kajian dampak sebelum menyetujui ratifikasi

Koalisi masyarakat sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE) mendesak kepada DPR RI dan Pemerintah untuk tidak meratifikasi Perjanjian RCEP sebelum melakukan kajian analisis dampak perjanjian RCEP secara komprehensif dan mempublikasikan hasilnya kepada publik luas sebagai dasar dalam pengambilan keputusan DPR RI dalam memberikan persetujuan atau penolakan terhadap ratifikasi RCEP. Ini sesuai dengan amanat Konstitusi Pasal 11 ayat (2) UUD RI sebagaimana yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.13/PUU-XVI/2018 tentang UU No. 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional.

Desakan ini juga didasari atas hasil kajian awal potensi dampak Perjanjian RCEP Koalisi MKE yang telah memetakan beberapa potensi dampak Perjanjian RCEP yang berpotensi bertentangan dengan konstitusi. Untuk itu, temuan krusial dari kajian dampak perjanjian RCEP ini harus dipertimbangkan dan dikaji dampaknya secara serius oleh DPR RI sebelum memberikan keputusan atas ratifikasi Perjanjian RCEP.

Fakta Kerugian dan Dampak Terhadap Rakyat Dibalik Optimisme Pemerintah

Rachmi Hertanti, Direktur IGJ, menjelaskan perjanjian RCEP sebenarnya tidak akan banyak membuka ruang yang lebih besar untuk liberalisasi pasar dikarenakan komitmen liberalisasi dalam RCEP lebih rendah dibandingkan dengan ASEAN+1 FTA. Dalam rujukan studi koalisi disebutkan hasil studi Ekonom UNCTAD, Rashmi Banga, menyatakan bahwa pelaksanaan komitmen liberalisasi barang RCEP akan memperburuk neraca perdagangan ASEAN, termasuk Indonesia, dimana peningkatan impor hampir semua negara ASEAN bersumber dari China. Lebih lanjut penelitian tersebut menghitung Negara-negara ASEAN bersama-sama akan kehilangan sekitar USD 8,5 miliar per tahun pasca RCEP diratifikasi dalam neraca perdagangan barang mereka.

“Fakta ini jauh dari ekspektasi Pemerintah yang mengklaim bahwa melalui RCEP akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia pasca RCEP diratifikasi. Peningkatan nilai defisit perdagangan dapat memperburuk membengkaknya neraca pembayaran Indonesia yang pada akhirnya menyempitnya ruang fiskal negara untuk dapat mengalokasikan anggaran negara untuk kepentingan rakyat”, tegas Rachmi.

Kartini Samon, peneliti GRAIN, juga menjelaskan bahwa RCEP disusun dan dinegosiasikan jauh sebelum pandemi COVID-19, sementara realita yang terjadi dengan pelemahan ekonomi akibat pandemi tidak banyak menjadi pertimbangan menjelang penandatanganan di akhir 2020. Jelas negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang menjadi anggota RCEP akan lebih rentan dan butuh waktu yang lebih lama untuk pulih dari krisis ekonomi akibat pandemi. RCEP juga akan mempersempit ruang kebijakan untuk mengatasi krisis-krisis di masa yang akan datang akibat liberalisasi ekonomi yang tidak berlaku surut (non recession) yang diatur melalui mekanisme ratchet di dalamnya.

“Salah satu yang terdampak adalah ketersediaan pangan nasional yang coba diatasi pemerintah melalui food estate, yang juga sangat bergantung pada industri pangan. Sementara RCEP justru akan meningkatkan import sejumlah produk pangan seperti gula, daging dan pangan olahan dari sejumlah negara RCEP lainnya seperti China, Malaysia, Australia dan Thailand. Pandemi ini seharusnya menjadi pembelajaran untuk lebih banyak mendukung pertanian rakyat yang justru sangat resilient menghadapi krisis dan bukannya terus meliberalisasi sektor pangan. Maka kami kembali mendesak DPR untuk mengambil langkah hati-hati dan tidak meratifikasi RCEP“, tegas Kartini.

Lebih lanjut Rachmi menilai optimisme Pemerintah atas harapan Indonesia untuk menjadi pemain dalam Regional Value Chains di kawasan RCEP sangat dipertanyakan keberhasilannya dan memiliki konsekuensi terhadap dampak dari kompetisi race to the bottom diantara negara ASEAN itu sendiri, apalagi RVC lebih fokus pada bentuk efisiensi produksi dengan mempertimbangkan opsi pada sumber terhadap bahan baku dan biaya tenaga kerja lebih murah lagi.

Manfaat yang akan didapatkan oleh Indonesia dari Regional Value Chains dalam kerjasama RCEP tentu tidak terjadi dengan serta merta dengan hanya ikut meratifikasi Perjanjian RCEP. Masih ada faktor utama lainnya yang dapat mempengaruhi keberhasilan Indonesia untuk bisa memanfaatkan RCEP, yaitu Faktor investasi dari lead firms di negara-negara industri maju. Menarik investasi juga bukan hal yang mudah dan ini menjadi tantangan persaingan diantara negara ASEAN untuk menarik investasi khususnya dengan Vietnam dan Malaysia yang dikenal dengan lower-cost investment destinations. Ada empat syarat yang menjadi nilai tawar bagi investor, yaitu negara yang dapat menawarkan biaya produksi yang paling efisien, seperti tenaga kerja yang murah, kemudahan pajak, dan akses terhadap sumber daya alam, yang pasti akan menjadi pemenangnya.

“Pastinya agenda RVC ini akan menjadi persaingan menuju ke bawah (race to the bottom) yang mengorbankan masyarakat, khususnya hak-hak buruh dan dampak luas terhadap kehidupan rakyat atas praktek ekstraksi sumber daya alam. Apalagi, syarat untuk fasilitasi iklim investasi adalah dengan deregulasi khususnya terkait dengan kebijakan upan dan efisiensi tenaga kerja. Dan ini sudah dilakukan melalui pengesahan UU Cipta Kerja yang kembali menjadikan buruh sebagai tenaga berupah murah dan fleksibel”, jelas Rachmi.

Ancaman terhadap buruh juga dihadapi dalam pengaturan RCEP tentang Bab Pergerakan Orang. Muslim Silaen, Koordinator IGJ, menjelaskan bahwa Bab Pergerakan Orang akan membuka tren Inter-Corporate Transfer (ICT) yang menggunakan pekerja asing berbakat untuk menunjang efisiensi penggunaan teknologi di Indonesia. Namun, pada akhirnya aturan ini akan berpotensi menghasilkan masalah ketenagakerjaan seperti; kegagalan alih teknologi, berkurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia akibat masuknya pekerja dari luar negeri untuk sektor yang diliberalisasi, potensi pekerja hanya berdasarkan sertifikasi, tidak akan mendukung terjadinya alih teknologi kepada pekerja Indonesia.

“Untuk bisa bersaing dalam perdagangan jasa tentu dari RCEP, Indonesia harus mencetak pekerja yang memiliki tenaga ahli, ini karena tren investasi yang masuk selalu disertai dengan teknologi yang tidak dikuasai oleh tenaga kerja Indonesia. sehingga perusahaan asing tersebut akan menggunakan tenaga kerjanya sendiri dalam mengoperasikan teknologinya. Kemampuan untuk bisa memaksimalkan RCEP membutuhkan kualitas SDM termasuk pendidikan”, jelas Muslim.

Ditengah upaya memenangkan kompetisi dalam menarik investasi, Peneliti Senior IGJ, Lutfiyah Hanim, menjelaskan bahwa Perjanjian RCEP juga memberikan hak eksklusif bagi investor melalui bab perlindungan investasi. Pengaturan Bab Investasi Perjanjian RCEP memuat substansi perlindungan untuk Investor dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada investor melalui mekanisme penyelesaian sengketa investasi atau yang dikenal dengan Investor-State Dispute Settlement (ISDS). Aturan ini berpotensi terhadap kerugian negara khususnya akibat mahalnya biaya litigasi dan biaya kompensasi ketika menghadapi perkara gugatan investor di arbitrase internasional.

“Ancaman mekanisme penyelesaian sengketa yang memungkinkan investor menggugat negara secara langsung di arbitrase internasional tetap terbuka lebar dalam RCEP. Hal ini karena, bab Investasi RCEP telah menyepakati tentang sebuah Program Kerja lanjutan untuk membahas tentang kemungkinan dimasukkannya mekanisme penyelesaian sengketa investasi antara investor dengan negara (ISDS) dalam waktu tidak lebih dari dua tahun setelah Perjanjian RCEP berlaku”, terang Hanim.

Pandemi Covid telah membuat situasi perempuan pekerja maupun perempuan pemimpin serikat pekerja/buruh semakin menantang. Badan Pusat Statistik mencatat dari 29,12 juta penduduk usia kerja, sebanyak 2,56 juta kehilangan pekerjaan dan 24,03 juta penduduk yang bekerja mengalami pengurangan jam kerja.

Solidaritas Perempuan menjelaskan bahwa bila RCEP diratifikasi maka akan semakin memicu fleksibilitas pasar tenaga kerja dan upah rendah perempuan yang diandalkan sebagai daya saing yang baik untuk menarik investor. Berbagai kesepakatan perdagangan termasuk RCEP, dirancang untuk memfasilitasi daya saing pasar dan arus bebas modal sehingga negara di dalamnya dapat mengakses sumber daya dan buruh upah rendah. Maka, perempuan yang banyak bekerja di sektor industri ekspor dan informal keadaannya akan semakin rentan. Jelas Solidaritas Perempuan.

Henry Thomas Simarmata, Peneliti dan Praktisi Hukum, menjelaskan soal fakta kerugian lainnya dalam Perjanjian RCEP terkait Bab Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang mempunyai dampak melampaui ruang ekonomi. Terdapat kekhawatiran bahwa perjanjian perdagangan internasional digunakan untuk mengubah secara substansial IP di wilayah domestik untuk alasan akses pasar dan manajemen risiko (risk management). RCEP amat mengandaikan kekuatan dan kerangka hukum dari negara pihak. Bagi Indonesia dan bagi hubungan internasional yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia, ada beberapa ruang perdebatan dalam kerangka perlindungan HaKI yang masih harus dirumuskan, dibahas, dan diolah.

“Dalam konteks tersebut, putusan MK yang menjadi dasar analisis menjadi amat penting khususnya mengenai IPR dalam RCEP bagi Indonesia. Misalnya saja, terkait dengan isu fair use dan kepentingan publik, indikasi geografis dan sumber daya genetis, definisi dan dampak kompetisi yang muncul, dan penegakan hukum. Untuk itu, sepanjang Indonesia tidak menyusun dan membangun elaborasi terhadap Isu perlindungan HaKI dalam RCEP, maka HaKI akan masuk ke berbagai bidang kehidupan, yang hal ini akan menciptakan dominant position baik negara pihak maupun entitas komersial tertentu”, tegas Henry.

Kepala Badan Kampanye Hak Asasi Petani Serikat Petani Indonesia, Afgan Fadhilah menjelaskan bahwa “cukup jelas bahwa peratifikasian RCEP akan menjadi ancaman serius bagi petani di Indonesia. Saat ini petani di Indonesia di dominasi oleh petani gurem yang memiliki luasan lahan sempit dengan modal rendah, bagaimana petani dapat sejahtera apabila dipaksa untuk bersaing. Imbasnya, petani tereduksi perannya sebagai produsen pangan akibat korporasi pangan yang syarat modal dan mampu bersaing. Juga, pandemi telah membuktikan bahwa sistem pangan yang berbasis lokal lebih kokoh apabila dibandingkan dengan sistem pangan yang dikuasai oleh korporasi”. Jelas Afgan.

Lebih lanjut, Olisias Gultom, Peneliti Senior IGJ, mengungkapkan potensi kerugian yang akan dialami oleh masyarakat Indonesia jika liberalisasi digital dalam RCEP tidak dikontrol oleh Negara. Ada beberapa konsekuensi yang akan dialami dalam konteks kebebasan aliran data dan aliran barang yang dilakukan dengan cara digital. Pertama, Kebebasan lintas data dan tidak diberlakukannya keharusan keberadaan lokal menjadi kebebasan yang luar biasa dalam dunia digital yang harus berjalan berdampingan dengan adanya ketimpangan aturan dalam perlindungan data baik terhadap data pribadi maupun data strategis. Kedua, tidak adanya pembatasan produk dan wilayah pasar tertentu, maka melalui fasilitas e-commerce terjadi persaingan terbuka dan secara langsung dengan produsen besar. Kapasitas produksi yang terbatas pada UMKM akan membatasi kemampuan UMKM memasuki pasar global dan dengan persaingan secara bebas pada akhirnya akan atau memarginalkan UMKM.

“Terkait dua hal tersebut, kesiapan negara dalam menghadapi liberalisasi digital sangat lambat. Misalnya, hingga saat ini Indonesia belum juga mengesahkan undang-undang perlindungan data pribadi termasuk soal terpisah-pisahnya aturan perlindungan terkait data, informasi masyarakat, dan negara, semakin membuka resiko yang besar bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, Kebijakan e-commerce harus disadari hanyalah sebagian dari keseluruhan ekonomi digital, tetapi telah menjadi pintu masuk bagi terbentuknya regulasi-regulasi global yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sehingga sangat penting untuk menghindarkan mereka menjadi mangsa atas dominasi perusahan-perusahaan besar dunia”, jelas Olisias.

DPR RI Harus Jalankan Mandat Konstitusi

Kajian potensi dampak RCEP Koalisi MKE harus menjadi bahan pertimbangan serius DPR RI dalam mengambil keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui ratifikasi Perjanjian RCEP.

Rahmat Maulana Sidik, Koordinator Advokasi IGJ menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 tentang UU No. 24 Tahun 2000 Perjanjian, yang dimenangkan oleh Koalisi untuk Keadilan Ekonomi, telah menegaskan bahwa Perjanjian internasional yang penting harus dengan persetujuan DPR tidak dapat dibatasi sesuai dengan bunyi Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Melainkan harus dilihat lebih luas dampak dari perjanjian internasional itu tidak boleh bertentangan dengan Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945. Bila suatu perjanjian internasional seperti RCEP mengancam keberlanjutan bangsa kedepan.

Maka, DPR RI dapat membatalkan atau tidak memberikan persetujuan ratifikasi perjanjian RCEP.” Tegas Maulana.

Untuk peran DPR RI itu sangat penting untuk mewujudkan amanat konstitusi dan nasib bangsa kedepan. Jadi DPR RI harus serius menganalisis dampak perjanjian RCEP. Tutup Maulana.

Selama ini, kami belum melihat DPR RI melakukan kajian analisis dampak HAM dan Sosial dari suatu perjanjian internasional. Kami menilai sangat penting aspek analisis itu agar tidak terjadi pelanggaran HAM dan Sosial dari suatu penerapan perjanjian internasional.

***

Untuk lebih lanjut, dapat menghubungi:

Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ, +62 817-4985-180
Kartini Samon, Peneliti GRAIN, +62 813-1476-1305
Henry Thomas Simarmata, Peneliti, +62 813-9083-5526
Afgan Fadhillah, Serikat Petani Indonesia, +62 813-6151-2131


 source: Indonesia for Global Justice