bilaterals.org logo
bilaterals.org logo
   

RCEP: Kesepakatan dagang terbesar di dunia ditandatangani, lalu apa artinya bagi Indonesia?

BBC News Indonesia - 17 November 2020

RCEP: Kesepakatan dagang terbesar di dunia ditandatangani, lalu apa artinya bagi Indonesia?
By Liza Tambunan

Indonesia dapat kehilangan pasar tekstil dari Jepang dan Korea Selatan akibat dampak ketatnya persaingan dalam perjanjian perdagangan terbesar di dunia, Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).

Sementara, Kementerian Perdagangan mengatakan bahwa masuknya Indonesia ke dalam lingkungan perdagangan yang kompetitif akan menghasilkan keuntungkan yang meluas, termasuk mendongkrak kualitas produk dan produktivitas industri dalam negeri.

Namun, ekonom Indef mengatakan dampak dari RCEP tidak akan terlihat sebelum Indonesia mengonsolidasi antara produk di level produksi dengan perdagangan, karena Indonesia masih terfokus di komoditas, sementara tertinggal dari sektor manufaktur yang menjadi prioritas global.

RCEP diharapkan dapat menghilangkan berbagai tarif impor dalam waktu 20 tahun ke depan.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartika, mengatakan Indonesia kemungkinan akan kehilangan pasar Jepang dan Korea Selatan, dengan dihilangkannya halangan perdagangan dengan China melalui kesepakatan RCEP.

Dengan adanya RCEP, akses perdagangan China ke Jepang dan Korea Selatan akan terbuka lebar, mengingat sebelumnya ada rintangan tarif, kata Jemmy.

"Kita tahu semua industri tekstil ini sekarang mayoritas itu bahan bakunya, seperti poliester dan rayon, itu berpusat ada di China.

"Jadi China itu major produsen buat poliester dan rayon. Dengan ditandatangani RCEP, yang produk China ke Jepang dan ke Korea, yang dulunya dikenakan tarif, ini tarifnya bisa 0, dengan ada RCEP ini," kata Jemmy kepada BBC News Indonesia, Senin (16/11).

"Sebelumnya, anggota asosiasi kita itu ada yang bahan bakunya dari China, diproses di Indonesia, dijahit di Indonesia, diekspor ke Korea dan diekspor ke Jepang.

"Karena Indonesia dan Jepang, Indonesia dan Korea sudah ada perjanjian trade agreement, jadi tarif barang dari Indonesia ke Korea dan Jepang 0.

"Mungkin setelah RCEP ini, China ke Jepang, China ke Korea Selatan menjadi 0. Mungkin market Indonesia ke Jepang dan Korea agak sedikit terganggu," tambahnya.

Dikhawatirkan ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut akan kalah bersaing dengan China, mengingat produk dari China jauh lebih murah.

Dengan demikian, dikhawatirkan pula ekspor Indonesia ke Jepang dan Korea Selatan akan berkurang drastis dan menambah gap neraca perdagangan tekstil dan produk tekstil (TPT).

Menurut data API, di antara negara-negara anggota RCEP, Jepang menempati urutan pertama sebagai tujuan ekspor TPT Indonesia, yakni senilai Rp18,6 triliun pada 2019.

Ini disusul China pada urutan kedua dengan nilai ekspor Rp 10,6 trilliun pada 2019 dan Korea Selatan pada urutan ketiga dengan Rp8,5 trilliun di tahun yang sama.

Apa tantangan bagi Indonesia?
RCEP, yang ditandatangani pada Minggu (15/11) lalu, melibatkan 10 negara anggota ASEAN, ditambah China, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.

Zona perdagangan bebas ini membentuk hampir sepertiga dari populasi dunia dan menyumbang 29% dari produk domestik bruto dunia.

Dalam konferensi pers menyusul penandatangan itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdanganan Internasional di Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo, menyatakan bahwa sebagai bagian dari langkah persiapan, Indonesia mesti memitigasi tantangan yang muncul dari implementasi perjanjian untuk sektor-sektor yang diperkirakan mengalami persaingan lebih ketat, dimana termasuk diantaranya industri tekstil.

Upaya mitigasi itu bertujuan agar Indonesia menjadi unggul di pasar domestik, yang akan turut menjadi pasar internasional, katanya.

Menurut World Trade Statistical Review 2020 yang dipublikasikan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia tergolong dalam daftar 10 negara terbesar pengimpor tekstil di dunia sepanjang 2019 dengan porsi 2,1 persen secara global.

Sementara, China, Korea Selatan dan Vietnam memasuki peringkat 10 besar negara-negara eksportir tekstil terbesar, masing-masing dengan porsi sebesar 39,2%, 3%, dan 2,9%.

Pengamat ekonomi: ’Persoalan bukan di perjanjiannya, tapi di dalam negeri’
Di sisi lain, peneliti senior Indef (Institute For Development of Economics and Finance), Enny Sri Hartati, mengatakan Indonesia harus mengonsolidasi produk yang disiapkan di perdagangan internasional sebelum bisa mengharapkan kesepakatan RCEP akan membuahkan hasil.

Sebab, menurut Enny, Indonesia masih terfokus pada komoditas, sementara prioritas ekspor global terletak di manufaktur.

Jika tidak, ia mengatakan Indonesia tidak akan merasakan keuntungan RCEP. Enny menjelaskan bahwa permasalahan fundamental efektivitas kerja sama perdagangan internasional, multilateral maupun bilateral, terletak di dalam negeri, bukan pada kerangka perjanjian perdagangannya itu sendiri.

"Jadi impor yang diperdagangkan di pasar global, 72,8%, adalah barang-barang manufaktur. Dari situ aja sudah ketahuan. Karena ekspor Indonesia, mostly, adalah komoditas.

"Jadi ketika Indonesia mengikuti berbagai macam perjanjian Free Trade Agreement - apakah itu RCEP, MEA atau bilateral sekalipun - itu persoalannya bukan di FTA-nya sebenarnya, tapi persoalannya di dalam negeri Indonesia," kata Enny, via telpon


 source: BBC News Indonesia