bilaterals.org logo
bilaterals.org logo
   

Perjanjian dagang: Meningkatkan ekspor atau kebanjiran impor?

Alinea - 14 Maret 2022

Perjanjian dagang: Meningkatkan ekspor atau kebanjiran impor?
Oleh Qonita Azzahra

Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) menyampaikan kekhawatirannya, terkait potensi gempuran impor pakaian jadi yang akan dialami Indonesia. Hal ini bisa terjadi jika perjanjian Indonesia-Bangladesh preferential trading arrangements (PTA) terlaksana. Ancaman ini kian nyata di saat industri tekstil nasional mulai bergeliat kembali, setelah sebelumnya tersapu oleh dampak pagebluk.

“Kalau impor garmen masuk lagi, ini akan kembali membebani IKM dan mengikis daya saing produk dalam negeri. Kemudian, bisa-bisa kami akan tutup lagi satu per satu,” kata Ketua IPKB Nandi, dalam keterangannya yang diterima Alinea.id, Jumat (4/3).

Hal ini pun diamini oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta. Dia bilang, jika pemerintah menyanggupi poin-poin permintaan dari Bangladesh dalam perjanjian dagang yang saat ini tengah dibahas oleh kedua negara, bisa-bisa produk pakaian impor dari negara tersebut dapat membanjiri Indonesia.

Sebagai informasi, dalam perundingan Indonesia-Bangladesh PTA, Bangladesh mengajukan permintaan untuk membebaskan 220 pos tarif produk tekstil, kulit dan alas kaki, dengan 133 diantaranya untuk pos tarif barang berkode HS 61 dan HS 62 atau produk pakaian jadi. Artinya, seluruh industri tekstil dari hulu hingga hilir akan terdampak perjanjian yang ditargetkan akan selesai perundingannya tahun ini tersebut.

“Di hulu memang banyak perusahaan besar, tetapi ujung tombak yang nanti akan paling banyak terkena serangan langsung impor garmen dari Bangladesh itu industri-industri kecil yang ada di hilir,” ungkap Redma, saat dikonfirmasi Alinea.id, Minggu (13/3).

Pihaknya merasa hal ini tidak adil, lantaran industri tekstil dikorbankan demi memuluskan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke Bangladesh. Untuk diketahui, Kementerian Perdagangan sebelumnya mengungkapkan, bahwa saat perjanjian diimplementasikan, Bangladesh diperkirakan bakal menjadi pasar ekspor utama, khususnya untuk produk CPO, batubara, besi dan baja, mobil sampai perhiasan.

Nilai perdagangan diperkirakan mencapai US$2,9 miliar per tahun. Bahkan, menurutnya perjanjian ini hanya akan menguntungkan pengusaha-pengusaha besar saja yang bergelut di sektor sawit.

“Kami tidak mau kalau disuruh harus berkorban demi ekspor CPO. Jangan sampai industri kecil dikorbankan demi segelintir kelompok saja,” tegas dia.

Peneliti Pusat Industri Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, pemerintah harus segera merespon cepat keluhan industri tekstil ini. Kalau tidak, industri tekstil domestik jelas akan kalah saing dengan produk tekstil Bangladesh dalam persaingan perdagangan bebas ini.

Respon tersebut bisa saja dilakukan dengan memberikan insentif kepada para pelaku usaha, khususnya IKM untuk mengintervensi struktur biaya produksi. Mengingat saat ini bahan baku industri tekstil yang didominasi oleh impor kapas tengah mengalami lonjakan, imbas perang Ukraina-Rusia. Dengan demikian, para pelaku usaha dapat mengejar ketertinggalan dan berkompetensi dengan tekstil Bangladesh.

“Yang tidak kalah pentingnya adalah daya saing dari IKM tekstil juga harus ditingkatkan. Ini tidak hanya untuk bersaing di pasar dalam negeri, tapi juga untuk bisa masuk ke pasar ekspor,” ungkapnya, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (13/3).

Selain itu, dengan melihat isi perjanjian dagang yang semakin kompleks, perlu ada partisipasi publik yang lebih luas untuk mendorong akuntabilitas dan manfaat dari perjanjian perdagangan. Di sisi lain, peran negosiator memiliki posisi penting dalam perjanjian perdagangan. Dus, perjanjian dagang diharapkan dapat memberikan posisi atau daya tawar yang kuat bagi Indonesia dalam perdagangan internasional.

“Sebagai negara besar, Indonesia harus mampu membuka akses pasar di kancah internasional melalui peningkatan kinerja ekspor produk nasional, khususnya UMKM, sehingga Indonesia tidak semata-mata menjadi pasar bagi negara-negara mitra dagang,” tukas Ahmad.

Untung atau buntung?

Seperti halnya negara lain, Indonesia diperbolehkan untuk memperjuangkan dan mengamankan kepentingan nasional dengan negara lain di dunia, melalui perjanjian perdagangan internasional. Hal ini berdasar pada pasal 82 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Menurut Peneliti Madya pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Sulasi Rongiyati, setidaknya ada dua keuntungan yang bisa didapatkan oleh negara yang menandatangani perjanjian perdagangan internasional. Pertama, secara ekonomi, penghapusan hambatan dagang dianggap dapat meningkatkan efisiensi perdagangan di masing-masing negara, menciptakan pasar baru, mengoptimalisasi rantai pasokan hingga memberikan akses terhadap barang yang lebih murah.

Kedua, perjanjian dagang sering dikaitkan dengan fungsi politik, khususnya dalam membentuk jejaring diplomasi, memperkuat aliansi dan mendorong kerja sama yang lebih luas di bidang lain.

Sementara itu, dalam implementasinya, ada tiga jenis perjanjian perdagangan yang umum dipakai oleh banyak negara, yaitu preferential trading arrangements (PTA) atau pakta perdagangan antar negara, free trade agreements (FTA) atau perjanjian perdagangan bebas dan comprehensive economic partnership agreements (CEPA) atau Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif.

Di mana PTA memberikan tingkat kemudahan atau preferensi dagang paling rendah yakni penurunan hambatan tarif dengan cakupan jenis barang dan waktu yang terbatas. Sementara FTA memberikan penghapusan hambatan dagang secara bertahap dengan cakupan barang dan jasa yang lebih luas dari PTA.

Sedangkan EPA/CEPA mencakup penghapusan hambatan dagang untuk sebagian besar barang dan jasa, serta mengatur kerja sama ekonomi lain seperti pergerakan tenaga kerja, investasi, dan persaingan usaha.

“Untuk kasus Indonesia, itu paling banyak terlibat dalam FTA dan CEPA,” katanya, kepada Alinea.id, Senin (14/3).

Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, hingga Januari 2022, terdapat 23 perjanjian dagang yang sudah dijalani Indonesia, baik itu yang masih dalam tahap konklusi, maupun yang sudah dilaksanakan. Seperti Indonesia-Chile CEPA, Indonesia-Japan EPA, Indonesia-Pakistan PTA, Indonesia-Australia CEPA, dan Asean+1 FTA yang meliputi kesepakatan dengan China, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru.

Serta satu perjanjian antara Indonesia dengan Uni Arab Emirate (UAE) yang baru saja mencapai kesepakatan pembahasan substansi pada 27 Februari lalu. Selain itu, ada pula perjanjian yang masih dalam tahap pembahasan, misalnya Indonesia-European Union CEPA, Indonesia-Turkey CEPA, Indonesia-Pakistan TIGA, Indonesia-Bangladesh PTA, Indonesia-Tunisia PTA, hingga Indonesia-UAE CEPA.

Terpisah, Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang (Kadin) Indonesia bidang Maritim Investasi dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani menilai, alih-alih meningkatkan ekspor, perjanjian dagang justru memberikan gempuran impor bagi Indonesia. Ini karena pembebasan bea masuk yang biasanya diterapkan oleh negara-negara pelaksana.

Sebenarnya, pembebasan tarif dalam perjanjian dagang, terutama untuk ekspor adalah hal yang biasa. Namun, dengan besarnya ukuran pasar Indonesia, dibandingkan negara mitra, tarif yang harus dibebaskan pun lebih besar dari negara-negara lainnya.

Selain itu, kehadiran perjanjian perdagangan juga tidak secara otomatis membuat penetrasi pasar untuk ekspor menjadi lebih mudah. Dalam banyak kasus, mitra dagang Indonesia menerapkan hambatan non-tarif yang membutuhkan penyesuaian lebih lama dari pelaku usaha. Terlebih lagi, dari sisi kesiapan memasuki pasar, seringkali mitra lebih siap daripada Indonesia.

“Akibatnya, produk negara mitra lebih cepat masuk karena perbedaan penyesuaian dari sisi compliance,” jelas Shinta, kepada Alinea.id, Senin (14/3).

Kondisi ini pun lantas membuat upaya Indonesia untuk mendorong laju ekspor melalui pakta dagang terkendala beban kriteria di negara tujuan (compliance). Meskipun pembebasan tarif ekspor sudah diberlakukan.

Sementara itu, hanya sebagian kecil saja produk ekspor Indonesia yang masuk dalam rantai nilai global alias global value chain (GVC). Tak heran, jika kemudian perjanjian dagang yang ada lebih banyak dimanfaatkan untuk impor. Apalagi, jika dilihat dari strukturnya, impor nasional lebih banyak didominasi oleh bahan baku/penolong untuk keperluan produksi dalam negeri.

“Akibatnya, kalau Indonesia tidak agresif mendorong ekspor melalui perjanjian dagang, bukannya kinerja ekspor yang akan meningkat, malah defisit dengan mitra dagang yang akan semakin lebar,” imbuhnya.

Ancaman bagi IKM

Selain itu, Peneliti Madya pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Sulasi Rongiyati menilai, perjanjian dagang cenderung lebih menguntungkan industri besar dibandingkan Industri Kecil dan Menengah (IKM) maupun Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Ini karena tidak banyak industri kecil yang dapat mengakses perjanjian dagang. Terlepas, beberapa perjanjian seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang memiliki tujuan utama untuk membantu peningkatan ekspor UMKM.

“Keberadaan FTA belum berpengaruh secara signifikan, sehingga pemerintah perlu memperbesar keterlibatan bisnis, khususnya UMKM,” tegasnya.

Hal ini pun diamini oleh Direktur Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh. Menurutnya, ada satu perjanjian yang saat ini tengah dibahas pemerintah, yakni Indonesia-Bangladesh PTA. Di mana potensi peningkatan substitusi impor akan terjadi pada industri tekstil dan produk tekstil nasional, khusunya pakaian jadi yang banyak diproduksi oleh IKM.

Menurut data Kementerian Perindustrian, Bangladesh merupakan eksportir pakaian jadi kedua terbesar di dunia setelah China dengan nilai ekspor senilai US$36,13 miliar per tahun 2021.

Selain itu, dari tahun 2016-2020, Bangladesh juga tercatat sebagai negara pengimpor pakaian jadi kedua terbesar ke Indonesia setelah China. Per 2020, nilai impor garmen dari Bangladesh senilai US$52,12 juta. Sebaliknya, nilai ekspor pakaian jadi Indonesia per tahun 2021 hanya sebesar US$6,98 miliar.

Padahal, tahun lalu industri tekstil baru saja mencapai substitusi impor tertinggi, di bawah sektor Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT), sejak tahun 2018, yakni di angka 18,5%. Meskipun belum memenuhi target substitusi impor tahun 2021 yang sebesar 35%.

“Jangan sampai perjanjian dagang ini nanti malah menghambat akselerasi substitusi impor di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT-red). Makanya konsepnya nanti juga harus win-win, agar tidak merugikan salah satunya atau hanya menguntungkan satu saja,” kata dia, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (10/3).

Untuk memperkecil dampak yang dapat ditimbulkan oleh perjanjian Indonesia-Bangladesh PTA ini, Elis mengaku, pihaknya tengah berdiskusi dan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA). Dengan harapan dapat terus mendorong kekuatan IKM di sektor TPT, sehingga nantinya akan ada lebih banyak IKM yang masuk ke pasar ekspor, melalui perjanjian dagang ini.

“Kita akan terus genjot daya saing IKM tekstil, agar mereka semakin siap untuk ekspor,” tegas Elis.

RCEP naikkan ekspor sekaligus impor

Pemerintah bersama DPR saat ini tengah mempercepat proses ratifikasi alias adopsi RCEP dan Indonesia-Korea (IK) CEPA.

“Baik RCEP maupun IK-CEPA pengesahannya dilakukan dengan UU, sesuai UU Perdagangan Pasal 84 ayat (3), karena menyangkut kepentingan nasional dan berdampak pada keuangan negara,” jelas Sulasi.

Percepatan ratifikasi perjanjian dagang tersebut, menurut Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, agar Indonesia tak kehilangan banyak kesempatan untuk memanfaatkan perjanjian dagang tersebut, utamanya RCEP.

Apalagi, perjanjian ini merupakan pakta dagang terbesar di dunia, di luar dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Bagaimana tidak, dengan anggota terdiri dari negara-negara di ASEAN, kecuali India dan 5 negara mitra, yaitu Australia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Selandia Baru, keekonomian RCEP diperkirakan mencapai 30,2% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) global.

Adapun investasi asing langsung alias Foreign Direct Investment (FDI) mencapai 29,98% dari total investasi dunia, total perdagangan mencapai 27,4% dunia, dan total penduduk hingga 29,6%.

“Karena itu, untuk meningkatkan perekonomian nasional, kita harus segera meratifikasi perjanjian RCEP,” ujar Djatmiko, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (11/3).

Namun demikian, setelah RCEP resmi diratifikasi, keuntungan perjanjian tersebut pun tidak bisa serta merta langsung dirasakan. Lantaran setelah ratifikasi, Indonesia membutuhkan 60 hari untuk bisa mengimplementasikan RCEP.

Sementara itu, setelah menerapkan RCEP, Indonesia diperkirakan dapat meningkatkan PDB hingga 0,07% pada 2040 serta dapat menaikkan ekspor sampai US$5,01 miliar di tahun yang sama. Sebaliknya, jika tidak bergabung dengan RCEP, ekonomi nasional diperkirakan akan terkoreksi hingga 0,08% dan kehilangan kesempatan ekspor US$228 juta pada tahun 2040.

“Sektor yang dapat mengalami peningkatan ekspor antara lain, gas, elektronik, kayu, manufaktur, perkebunan dan kertas,” rincinya.

Di sisi lain, dengan bergabungnya Indonesia dengan RCEP, diperkirakan pula dapat meningkatkan nilai impor hingga US$4,05 miliar. Sebaliknya, nilai impor akan mengalami penurunan mencapai US$158 juta, jika tidak bergabung dengan perjanjian dagang tersebut.

Adapun sektor yang mengalami kenaikan impor antara lain, makanan olahan, transportasi termasuk kendaraan bermotor dan perlengkapannya, logam, kimia, karet olahan, plastik, serta tekstil dan garmen. Dus, tak heran jika kemudian neraca perdagangan nasional pun diperkirakan bakal mengalami defisit di tahun-tahun awal implementasi RCEP.

“Tapi, kemudian akan ditutup dengan kenaikan surplus sampai US$979,30 juta atau 2,5 kali lebih besar di 2040. Ini dibandingkan kalau kita tidak bergabung dengan RCEP, karena kita hanya akan surplus sebesar US$383,06 juta saja,” jelas Djatmiko.


 source: Alinea