bilaterals.org logo
bilaterals.org logo
   

Perundingan I-EU CEPA: tidak untuk rakyat kecil

All the versions of this article: [English] [Indonesia]

Photo by Indonesia for Global Justice

Indonesia for Global Justice - 12 July 2023

Perundingan I-EU CEPA: tidak untuk rakyat kecil

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (MKE) bersama Koalisi Masyarakat Sipil di Yogyakarta Menggelar Aksi Mendesak Penghentian Perundingan I-EU CEPA.

Pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa sedang merundingkan Perjanjian Kemitraan Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-EU CEPA) putaran ke-15 yang berlangsung di Yogyakarta sejak 10 Juli 2023 lalu. Perundingan ini digelar tertutup tanpa adanya informasi yang dibuka ke publik termasuk juga pelibatan masyarakat sipil. Berkaitan dengan hal tersebut, kami, masyarakat sipil Indonesia menggelar aksi untuk mendesak Komisi Eropa dan Pemerintah Indonesia agar segera menghentikan perundingan Indonesia-EU CEPA karena dalam bentuknya yang sekarang ini mengancam perlindungan hak asasi manusia, keadilan sosial, dan lingkungan hidup yang berkelanjutan, khususnya bagi masyarakat Indonesia.

Aksi ini digelar bersama elemen masyarakat sipil dan mahasiswa kota Yogyakarta di Pertigaan UIN dan juga Hotel Royal Ambarukmo -tempat perundingan berlangsung-. Dalam aksi ini Koalisi menyuarakan keprihatinan bahwa perjanjian yang tengah dirundingkan dapat menyebabkan perubahan peraturan dalam negeri untuk semata-mata melindungi investor, yang mengakibatkan pembangunan sosial-ekonomi yang tidak merata di dalam dan antar negara, dan karenanya bukan merupakan jalan atau langkah menuju pembangunan berkelanjutan.

Di bawah ini adalah tiga alasan utama mengapa CEPA Indonesia-UE harus dihentikan sampai masalah mendasar ini diatasi:

1. Tidak Ada Jaminan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) akan Dilindungi.

  • Pengabaian Hak Demokrasi:
    Koalisi menyayangkan perundingan yang dilangsungkan secara tertutup dan tidak transparan. Sejak dirundingkan tahun 2016, tidak ada keterlibatan kelompok masyarakat sipil dalam perundingan. Hanya sangat sedikit informasi yang tersedia, dari rangkuman diskusi selama perundingan. Padahal ini akan berdampak luas, mengikat negara, dan seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimana masyarakat dan (DPR) akan menganalisa, meneliti dampak jika proses perundingan tidak terbuka?

Komisi Eropa mentoleransi kemerosotan HAM dan perlindungan tenaga kerja di Indonesia jika memungkinkan Indonesia untuk mengunci Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja dan pengaturan dan tindakan fasilitasi perdagangan dan investasi ke dalam CEPA. Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja merupakan pelanggaran hak demokrasi seluruh penduduk Indonesia dan pelanggaran konstitusi oleh Pemerintah Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh Putusan Pengadilan No. 91/PUU-XVIII/2020. Peraturan ini juga memfasilitasi akses investor dan ekstraksi sumber daya alam dan eksploitasi tenaga kerja dan pasar dalam skala yang lebih besar, tanpa menjamin perlindungan HAM, lingkungan, atau komitmen terhadap keadilan ekonomi.

  • Memprioritaskan Perlindungan Hak Perusahaan dan investor di atas Hak Rakyat:
    Tujuan penting CEPA Indonesia-UE adalah liberalisasi dan perlindungan kepentingan investasi. Hal ini terlihat pada beberapa pengaturan dalam perjanjian ini.

Bab perdagangan digital dalam CEPA Indonesia-UE, perusahaan teknologi besar dimungkinkan untuk memonopoli data dan mensyaratkan penghapusan semua hambatan pergerakan data lintas batas negara melalui ketentuan aliran bebas data lintas batas dan minimnya transparansi kode sumber (source code) bagi pengguna aplikasi digital. Ketiadaan regulasi tentang pengumpulan, pemanfaatan, dan penyimpanan data yang dijajaki oleh korporasi menggerus pemanfaatan data yang seharusnya menjadi kedaulatan rakyat saat ini. Masyarakat sekarang tidak hanya menjadi sumber ekstraksi data (penambangan data), tetapi juga target pasar untuk perusahaan teknologi besar. Perlindungan monopoli data dalam CEPA Indonesia-UE kepada aktor-aktor teknologi besar (Big Tech) UE hanya akan mengakibatkan penjajahan data di Indonesia.

Bab Hak Kekayaan Intelektual (HKI): proposal Uni Eropa mencerminkan kepentingan UE dalam memberikan perlindungan bagi monopoli perusahaan di sektor kesehatan dan pertanian. CEPA Indonesia-UE akan mencakup ketentuan TRIPS (Aspek-Aspek Dagang yang Terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual) Plus seperti larangan impor paralel, perpanjangan masa perlindungan paten, serta eksklusivitas data dan pasar bahkan untuk penggunaan baru bagi obat-obatan lama atau obat yang sama untuk anak, yang selanjutnya akan membatasi akses masyarakat Indonesia terhadap obat-obatan dan teknologi kesehatan yang terjangkau. Selain itu, desakan UE untuk mengadopsi ketentuan Konvensi UPOV 91 (konvensi tentang perlindungan varietas tanaman yang disusun oleh beberapa negara Eropa) dalam perjanjian ini akan menghilangkan hak dan kedaulatan petani atas benih. Sementara, masuknya benih impor akan mengancam keanekaragaman hayati ekosistem Indonesia.

Dalam Bab Investasi, UE mengusulkan untuk membentuk mekanisme penyelesaian sengketa investasi yang dikenal sebagai Sistem Pengadilan Investasi (ICS). Mekanisme ini masih menganut konsep yang sama dengan mekanisme penyelesaian sengketa antara negara dan investor (investor state dispute settlement). Mekanisme ini hanya akan memberikan hak kepada investor untuk menggugat negara, dalam hal ini Indonesia, ketika kebijakan nasional dianggap merugikan kepentingan investor. Penghargaan kompensasi yang dihasilkan di bawah mekanisme ini dapat menimbulkan beban keuangan yang sangat besar pada pemerintah negara tuan rumah investor asing dan dapat menciptakan apa yang disebut sebagai efek menakuti dan menyandera kepentingan publik.

2. Tidak Adanya Keadilan Sosial.
CEPA Indonesia-UE akan mengatur tidak hanya ekspor dan impor, tetapi juga semua aspek kehidupan sosial, termasuk perempuan, pekerja, petani, nelayan, dan masyarakat adat. Liberalisasi sektor publik dan vital CEPA Indonesia-UE akan mempengaruhi akses masyarakat terhadap layanan publik yang terjangkau. Privatisasi sektor perawatan kesehatan, pendidikan, air, dan listrik akan menyebabkan diskriminasi dalam masyarakat dan meningkatkan biaya yang hanya dapat diakses oleh orang kaya.

Ketiadaan mekanisme analisis dampak (ekonomi, sosial, dan budaya) yang komprehensif yang melibatkan partisipasi publik yang berarti memperburuk hilangnya hak atas keadilan sosial di Indonesia. Selama ini, pemerintah Indonesia hanya melakukan analisis biaya-manfaat ekonomi dari perspektif bisnis. Di sisi lain, pembahasan tentang dampak sosial dan HAM yang dihadapi masyarakat Indonesia, termasuk dampak perjanjian perdagangan internasional terhadap lingkungan luput dari perhatian para pembuat kebijakan.

DPR RI gagal melakukan analisis dampak dalam menyetujui pengesahan perjanjian perdagangan internasional di Indonesia, sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Dasar. DPR RI diamanatkan oleh Pasal 11 (2) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XVI/2018 untuk melakukan kajian dampak pendahuluan terhadap setiap perjanjian internasional yang berpotensi untuk berdampak luas dan merugikan. Selain itu, DPR RI seringkali hanya terlibat setelah perjanjian ditandatangani dan peran mereka dikurangi untuk ‘stempel’ ratifikasi suatu perjanjian.

3. Pengabaian Hak atas Kelestarian Lingkungan Hidup.
UE dan Indonesia mengklaim CEPA akan mempercepat agenda transisi ekonomi hijau, khususnya transisi energi. Namun, komitmen untuk melindungi hak atas kelestarian lingkungan tidak tercermin dalam CEPA Indonesia-UE. Hal ini disebabkan pengaturan liberalisasi perdagangan dan investasi untuk memastikan akses dan rantai pasok bahan mentah kritis di bawah CEPA Indonesia-UE hanya akan mendorong perluasan ekonomi ekstraktif, khususnya di Indonesia, dan memperburuk krisis iklim global.

CEPA Indonesia-UE akan mencakup ketentuan yang memfasilitasi kepentingan strategis UE untuk mengakses bahan baku penting di Indonesia. UE akan memerangi peraturan perdagangan yang dianggap “tidak adil” menurut versinya terutama berkaitan dengan mineral penting, seperti pelarangan pembatasan ekspor. Selain itu, bab energi dan bahan baku akan mengatur non diskriminasi dalam perdagangan dan investasi, termasuk penghapusan bea masuk, bea keluar, dan ekspor bahan baku penting. Bab ini berpotensi menghambat upaya Indonesia memperkuat ruang kebijakan untuk mendukung hilirisasi industrialisasi.

Realisasi hilirisasi industri berbasis sumber daya alam Indonesia memerlukan perluasan industri pertambangan dan pengolahan, serta pembangunan infrastruktur skala besar yang berpotensi merusak lingkungan ataupun konflik agraria. Mengenai potensi dampaknya, bab Trade and Sustainable Development (TSD) CEPA Indonesia-UE tidak memadai dan tidak efektif dalam mengatasi isu krisis iklim dan degradasi lingkungan. Sebaliknya, hal tersebut berpotensi untuk menjadi alat pencucian hijau (green washing) bagi perusahaan dan investor untuk memajukan proyek iklim yang menghilangkan ruang hidup dan memperburuk lingkungan bagi masyarakat yang terkena dampak. Perempuan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan, pekerja, petani, dan nelayan akan kehilangan mata pencaharian karena arus investasi dan monopoli korporasi.

Mempertimbangkan poin-poin kritis di atas, kami mendesak Indonesia-EU CEPA untuk ditangguhkan sampai masalah mendasar ini diatasi, kami:

  • Mendesak Komisi Uni Eropa untuk tidak mengadopsi Undang-Undang Cipta Kerja ke dalam negosiasi CEPA Indonesia-UE;
  • Menekankan bahwa CEPA Indonesia-UE bukanlah instrumen yang cocok untuk mengatur tata kelola data;
  • Hentikan ekstraksi pada kegiatan perdagangan dan investasi yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan terlanggarnya hak-hak perempuan, masyarakat adat, pekerja, petani, dan nelayan skala kecil;
  • Memastikan rantai nilai bahan baku yang berkelanjutan yang tidak hanya memungkinkan lapangan kerja berkualitas, industrialisasi dalam negeri, dan mobilisasi pendapatan, tetapi juga melindungi masyarakat dan lingkungan dari dampak buruk pertambangan dan industri pengolahannya;
  • Melakukan analisis dampak HAM yang responsif gender dari CEPA Indonesia-UE.

Narahubung:
Rahmat Maulana Sidik, Indonesia for Global Justice (IGJ) – rahmat.maulana@igj.or.id
Olisias Gultom, Sahita Institute (HINTS) – olisias.gultom@hints.id
Lutfiyah Hanim – lutfiyah.hanim@gmail.com
Rachmi Hertanti – rachmi.hertanti@gmail.com
Restu Baskara – restusaktya@gmail.com
Ferry Norila – fnorila@iac.or.id


 source: Indonesia for Global Justice