bilaterals.org logo
bilaterals.org logo
   

Bocoran bab baru Persetujuan Perdagangan Asia menunjukkan RCEP akan menghilangkan penguasaan petani atas benih

Bocoran bab baru Persetujuan Perdagangan Asia menunjukkan RCEP akan menghilangkan penguasaan petani atas benih

Sejak Trans-Pacific Partnership (TPP) disetujui, masyarakat sadar akan adanya perjanjian perdagangan besar-besaran lain yang sedang dinegosiasikan di belakang layar di wilayah Asia-Pasifik. Seperti TPP, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) mengancam untuk meningkatkan kekuatan korporasi di negara anggota, meninggalkan masyarakat hanya dengan memiliki sedikit celah untuk menyatakan hak mereka atas lahan, makanan, obat-obatan, dan benih.

RCEP sedang dinegosiasikan di antara sepuluh negara ASEAN dan enam rekan dagang terbesar di wilayah mereka: Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan.

Berdasarkan draft terbaru yang bocor dari perjanjian RCEP, pada 15 Oktober 2015 dan dipublikasikan oleh Knowledge Ecology International, negara yang terlibat, terbagi ke dalam dua pihak menyangkut permasalahan hak hukum akan keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional yang berguna untuk produksi pangan dan obat-obatan.

Negara-negara yang bersikeras untuk memperkuat hak hukum atas korporasi, yang terdiri dari pemerintah Australia, Jepang, Korea. Negara-negara ini mencoba untuk:

  • memastikan bahwa RCEP membutuhkan semua anggotanya bergabung dalam UPOV 1991 atau setidaknya membuat hukum nasional yang konsisten dengan perjanjian benih internasional. UPOV 1991 dibuat untuk menyediakan hak properti swasta bagi varietas tanaman baru. Hal ini memberikan monopoli legal akan benih kepada perusahaan seperti Monsanto atau Sygenta, termasuk benih yang disimpan petani, selama 20 tahun atau lebih. Hal ini melampaui persyaratan dari perjanjian WTO mengenai Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS);
  • memastikan bahwa RCEP akan membutuhkan semua anggotanya untuk bergabung dalam Perjanjian Budapest untuk perlindungan paten akan mikroorganisme. Perjanjian Budapest menentukan suatu sistem dimana para perusahaan dapat menyimpan sampel dari suatu mikroorganisme yang mereka patenkan dalam sebuah bank gen yang ditujukan sebagai suatu cara untuk mendeskripsikan penemuan mereka, meskipun akses akan material itu terlarang; dan
  • Memastikan bahwa anggota RCEP menciptakan kesempatan untuk membuat pelarangan oleh korporasi terhadap hak-hak pengembang benih, untuk dijadikan subjek hukuman kriminal (penyitaan barang, penjara), tidak hanya pengampunan sipil.

Semua langkah-langkah ini adalah “TRIPS-plus” dimana mereka akan melampaui apa saja yang diperlukan dibawah perjanjian WTO TRIPS dan karena hal tersebut secara lebih jauh akan menciptakan sistem kekayaan intelektual. Dengan melampaui WTO, mereka juga akan menetapkan standar internasional baru melalui “pintu belakang”

Hak kekayaan individu adalah hak ekonomi eksklusif yang diberikan oleh pemerintah untuk menghargai dan, dalam teori, merangsang inovasi. Apakah mereka akan melakukan hal ini ataukah hanya akan menciptakan monopoloi hukum yang tidak adil dan perilaku pencari rente yang sedang hangat diperdebatkan.

Sisi lain, termasuk di dalamnya ASEAN, China, India, dan (sebagian besar) Selandia Baru, menolak proposal ini. Beberapa negara tersebut telah menyetujui persyaratan seperti itu di bawah perjanjian dagang lainnya, contohnya perjanjian dagang bilateral milik Jepang Economic Partnership Agreements atau bahkan perjanjian yang belum diratifikasi oleh Trans-Pacific Partnership. Di situlah, mereka enggan memaksakannya melalui RCEP.

ASEAN, China, dan India juga mencoba memasukan syarat tertentu dalam bab hak kekayaan intelektual dari RCEP yang bisa menguatkan hak dan kewajiban yang ada di Konvensi Keanekaragaman Hayati Biologis (CBD) milik PBB. Contohnya:

  • ASEAN dan China ingin memastikan bahwa anggota RCEP menyadari pentingnya perusahaan berkaitan dengan paten atau hak lainnya dalam wilayah mereka, “membuka” asal dari materi genetis atau pengetahuan tradisional yang mereka terapkan.
  • China dan India melangkah lebih maju akan hal ini dan menginginkan RCEP untuk menyingkap persyaratan, bersubjek pada sanksi beragam.
  • India melangkah lebih jauh lagi dan mengusulkan bahwa RCEP memerlukan seluruh negara anggota untuk menyetujui dan mengimplementasikan Protokol CBD Nagoya dalam akses dan pembagian keuntungan yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati. (Negara-negara ASEAN menentang hal ini)

Secara historis, keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional di negara-negara kaya seperti India dan Cina melihat bagaimana peneliti dari Barat menyedot kekayaan mereka, megatur dan mematenkan mereka. Karena alasan ini, mereka telah menolak untuk memperpanjang sistem hukum Barat terhadap sumber daya ini dan sebaliknya mendesak pembayaran ketika sumber daya tersebut digunakan.

Tak satu pun dari pendekatan ini, bagaimanapun akan melindungi masyarakat pada dasarnya. Dengan memformalkan aturan baru untuk mengatur penggunaan pengetahuan dan benih mereka melalui negoisasi rahasia. RCEP akan membawa kekayaan petani di Asia, nelayan, dan masyarakat adat kedalam sistem perdagangan regional. Ini akan menjadi sebuah bencana, terutama mengingat kepada tekanan kuat dari perubahan iklim di wilayah ini. Sekarang, sebuah El Niño yang sangat menghancurkan saat ini memanaskan lahan pertanian di Asia, menempatkan suplai beras dalam bahaya dan menggerakkan petani yang kelaparan kedalam proses yang mematikan, sebagaimana yang dapat kita lihat di Pilipina baru-baru ini.

Untuk meningkatkan keamanan pangan yang nyata dalam konteks perubahan iklim, pemerintah di seluruh wilayah Asia-Pasifik perlu berhenti untuk bersikap saling unjuk gigi dalam properti intelektual. Alih-alih memberikan kekuatan baru dan hak istimewa untuk perusahaan, mereka harus secara efektif mendukung komunitas lokal yang mencoba untuk mencapai kedaulatan pangan yang mengakar di dalam kontrol mereka sendiri atas benih, tanah, pengetahuan, dan air. Itu agenda yang sangat berbeda, namun hal ini sangat membutuhkan dukungan kita.


 source: GRAIN