bilaterals.org logo
bilaterals.org logo
   

MKE: Perjanjian Perdagangan Bebas Harus Dihentikan!

Photo from Bisnis Bandung

Bisnis Bandung - 14 Juni 2022

MKE: Perjanjian Perdagangan Bebas Harus Dihentikan!

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (MKE) adalah gabungan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia yang memiliki concern pada isu Perdagangan Bebas dan dampaknya pada banyak sektor kehidupan di Indonesia.

Koalisi MKE menyoroti pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia ke-12 (KTM WTO KE-12) yang akan digelar pada 13-16 Juni 2022 di Kantor Pusat WTO di Jenewa, Swiss.

Koalisi MKE menilai pertemuan tersebut harus dihentikan karena selama ini WTO
telah menyebabkan ketimpangan ekonomi yang nyata bagi masyarakat kecil terutama di negara miskin dan berkembang.

WTO juga telah mengatur banyak hal yang membuat ketimpangan ekonomi ini terjadi di banyak sektor termasuk juga pangan, digital, hingga kesehatan.

Koalisi MKE menilai pertemuan KTM tidak relevan karena situasi pandemi yang masih berlangsung dengan akses terhadap vaksin dan obat terhambat mekanisme WTO pada negara-negara miskin dan berkembang terutama di benua Afrika.

Kebijakan yang mengatur banyak tema perdagangan barang dan jasa, investasi dan mekanisme perselisihan perdagangan menghasilkan aturan berbasis pasar bebas hinggamengorbankan perlindungan akses hak dan kedaulatan ekonomi rakyat.

Rezim WTO juga membuat standar liberalisasi kemudian dipakai dalam skema liberalisasi secara bilateral.

Pertemuan menteri perdagangan sedunia ini kerap kali melangkahi partisipasi masyarakat dalam upaya mengetahui, mempertahankan dan menolak kebijakan liberalisasi.

Berbagai aturan yang disepakati menghasilkan ketimpangan dan penurunan kualitas ekonomi rakyat.

1. Ketimpangan Akses pada Kebutuhan Covid-19 dan Sulitnya Akses Obat akibat TRIPS Koalisi MKE menyoroti bahwa Ketimpangan Akses Vaksin diakibatkan oleh gagalnya perundingan TRIPs Waiver di WTO.

Selama ini aturan Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights (TRIPS) telah mempersulit akses masyarakat pada obat. Aturan TRIPS telah mendorong adanya monopoli pada obat-obatan yang membuat harganya tinggi dan sulit dijangkau.

Kondisi ini semakin sulit ketika pada masa pandemi Covid-19, di mana negara-negara kesulitan memenuhi kebutuhan pandemi meliputi obat-obatan, APD, diagnostik, ventilator, hingga vaksin.

Proposal TRIPS Waiver muncul sebagai usulan dari India dan Afrika Selatan untuk menangguhkan sementara aturan TRIPS, sehingga hambatan kekayaan intelektual untuk memenuhi kebutuhan pandemi Covid-19 bisa teratasi.

Proposal TRIPS Waiver yang ditujukan untuk memberikan akses yang adil untuk kebutuhan penanganan pandemi COVID-19 juga menyimpang dari kebutuhan negara berkembang dan kurang berkembang.

Proposal ini didukung oleh banyak negara berkembang, organisasi masyarakat sipil, peneliti, hingga akademisi.

Dalam perkembangannya WTO justru mengarahkan perundingan TRIPS Waiver pada draft yang "berkompromi" dengan keinginan negara berkembang.

Teks ini muncul setelah diskusi yang dipimpin justru oleh negara maju dan difasilitasi oleh Direktur Jenderal WTO.

Koalisi dalam hal ini tetap mendorong teks asli Proposal TRIPS Waiver untuk menghentikan segala bentuk Vaccine Apartheid yang terjadi terutama terhadap negara miskin dan berkembang.

Proposal TRIPS Waiver menjadi sangat penting karena selama pandemi, perusahaan korporasi terus menimbun kekayaan di mana banyak korban dari COVID-19 yang meninggal akibat sulit mengakses obat-obatan hingga vaksin.

2. Hilangnya Kedaulatan Negara dalam Rezim WTO

WTO telah mendorong serangkaian aturan yang justru mengarahkan negara berkembang dan kurang berkembang ke dalam posisi sulit.

Negara berkembang dan kurang berkembang dipaksa untuk membuka keran perdagangannya termasuk pada sektor esensial seperti pangan, mengakibatkan negara berkembang dan kurang berkembang kehilangan kedaulatan untuk melindungi pasar dalam negerinya.

Kebijakan neoliberal ini mendorong negara-negara untuk memprioritaskan ekspor tanaman dan bergantung pada impor untuk memberi makan masyarakat dan meningkatkan perampasan sumber daya oleh korporasi, yang merugikan petani dan komunitas lokal.

Hal ini dapat diamati dengan jelas ketika peraturan perdagangan dan pertanian dipaksa untuk berubah melalui mekanisme WTO demi memperbesar keran impor akibat dari kekalahan dalam sengketa dagang dengan Brazil.

Koalisi menilai bahwa KTM WTO ke-12 hanya akan melanjutkan dominasi kepentingan ekspansi perdagangan negara maju dan krisis di negara berkembang.

Terlebih negara maju terus mendominasi perundingan sehingga agenda pembangunan untuk negara berkembang dan kurang berkembang menjadi terus terpinggirkan.

Berbagai usaha dilakukan negara maju untuk mengikat negara berkembang dan miskin untuk tunduk kepada kesepakatan sebagian anggota WTO.

Mekanisme Plurilateral membuat banyak kesepakatan-kesepakatan yang melangkahi aturan yang perlu dilakukan secara multilateral.

Seperti Joint Statement
Initiative (JSI) Services on Domestic Regulation mendorong negara yang terlibat dalam diskusi ini untuk menghasilkan pernyataan bersama di forum WTO untuk meliberalisasi layanan jasa dengan kepastian aturan di negara anggota.

Mengikuti WTO telah membuat negara anggota termasuk indonesia harus menyesuaikan kebijakan nasional yang cocok dan terhubung dengan kesepakatan secara global.

Kemandirian bangsa dalam pergaulan global tergadai demi menghasilkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Perlindungan kepada rakyat menjadi kebijakan yang haram untuk diterapkan di masing-masing negara anggota.


 source: Bisnis Bandung