bilaterals.org logo
bilaterals.org logo
   

Perundingan I-EU CEPA membajak hak-hak demokrasi dan mengabaikan dampak bagi masyarakat

All the versions of this article: [English] [Indonesia]

Photo by Haley Lawrence on Unsplash

Indonesia AIDS Coalition - 01 July 2024

Perundingan I-EU CEPA membajak hak-hak demokrasi dan mengabaikan dampak bagi masyarakat

Indonesia dan Uni Eropa menggelar putaran perundingan ke-19 untuk Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa, atau Indonesia-EU CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement), pada tanggal 1-5 Juli 2024.

Sehubungan dengan putaran perundingan tersebut, Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengkritik I-EU CEPA yang telah membajak hak-hak demokrasi sembari mengabaikan dampak dari perundingan bagi masyarakat. Hal ini disebabkan perundingan I-EU CEPA diselenggarakan tanpa mendengar aspirasi publik, dan tidak memberikan ruang bagi partisipasi yang bermakna dari kelompok masyarakat sipil. Lebih lanjut, perundingan I-EU CEPA juga tidak mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, serta HAM yang dapat terjadi dan berimbas pada masyarakat luas sebagai akibat dari perundingan.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik mengungkapkan bahwa perundingan I-EU CEPA sudah sepatutnya dihentikan karena tidak mengakomodir kepentingan rakyat. Hal ini dibuktikan dengan proses perundingan yang dilakukan secara tertutup dan tidak memberikan informasi mengenai pokok-pokok perundingan, juga dampaknya bagi masyarakat.

“Ini akan merugikan masyarakat ke depannya karena masyarakat dipaksa untuk melaksanakan kesepakatan yang tidak diketahui substansinya atau bahkan tidak menghendaki kesepakatan tersebut,” ungkap Maulana.

“Proses perundingan I-EU CEPA ini telah melanggar UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mensyaratkan adanya partisipasi publik dalam setiap proses penyusunan kebijakan, termasuk dalam konteks ini perundingan dagang antara Indonesia dengan negara-negara lain. Selain itu, perundingan I-EU CEPA juga melanggar Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 tentang Perjanjian Internasional yang mengharuskan adanya partisipasi publik dalam setiap proses perjanjian dagang,” tambah Maulana.

Dampak I-EU CEPA pada Akses Masyarakat ke Obat-Obatan yang Terjangkau

Sehubungan dengan dampak dari perundingan terhadap kesehatan publik, Peneliti Senior IGJ, Lutfiyah Hanim, menjelaskan bahwa I-EU CEPA akan berdampak pada akses masyarakat ke obat-obatan. Pada bab Kekayaan Intelektual I-EU CEPA terdapat klausul ‘TRIPS Plus,’ yang secara sederhana merupakan bentuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang lebih ketat, dibandingkan dengan standar internasional yang ditetapkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia, atau WTO. Termasuk dalam TRIPS Plus adalah perpanjangan masa perlindungan paten, larangan untuk melakukan impor paralel, serta ketentuan mengenai eksklusivitas data dan pasar, yang dikhawatirkan dapat menghambat akses masyarakat ke obat-obatan yang terjangkau. Perpanjangan masa perlindungan paten misalnya, akan memperlambat masuknya obat generik ke pasar dan menyebabkan harga obat menjadi mahal karena monopoli.

“Karena itu, pemerintah Indonesia harus secara tegas menolak proposal Uni Eropa terkait perpanjangan masa perlindungan paten, eksklusivitas data dan pasar, serta pembatasan impor paralel. Dalam situasi saat ini, harga obat yang dilindungi oleh paten amat mahal. Padahal, tersedia obat yang sama versi generik di negara lain, tetapi tidak bisa masuk karena versi originatornya masih dipatenkan,” ungkap Lutfiyah Hanim.

Monopoli paten atas obat-obatan selama ini telah berdampak pada akses masyarakat ke obat. Ferry Norila, Communication, Campaign, & Advocacy Coordinator dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) menyampaikan bahwa sebagian besar obat-obatan generasi baru untuk HIV, TB, dan penyakit lain masih dipatenkan, sehingga harganya amat mahal. “Perjanjian perdagangan bebas, termasuk I-EU CEPA, melukai dan berdampak serius kepada akses masyarakat ke obat. Kelompok pasien dengan tegas menolak klausul TRIPS Plus yang diajukan oleh Uni Eropa. Sebab TRIPS Plus akan semakin memperkuat monopoli, meningkatkan harga obat, dan menghilangkan potensi produksi obat generik,” ujar Ferry Norila.

Salah satu contoh adalah obat-obatan untuk penanganan hipertensi paru di Indonesia. Arni Rismayanti, Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), menyampaikan bahwa akses pasien hipertensi paru ke obat masih terbatas. Banyak obat yang dibutuhkan justru tidak beredar di Indonesia atau dijual di Indonesia tapi dengan harga yang sangat mahal. Ambrisentan misalnya, di negara maju harga originator Ambrisentan mencapai 60 juta Rupiah untuk satu bulan. Sementara versi generiknya yang beredar di India paling mahal adalah sekitar 2,5 juta Rupiah per bulan. Dengan jelas dapat terlihat adanya perbedaan harga yang drastis. Karena di Indonesia obat tersebut tidak beredar, maka pasien harus membeli dari India.

Obat lain adalah Macitentan, yang harganya di Indonesia mencapai 31 juta Rupiah untuk satu bulan. Sedangkan versi generiknya hanya 1,5 juta Rupiah per bulan. Variasi jenis obat hipertensi paru amat dibutuhkan oleh pasien karena sifat penyakitnya yang progresif, sehingga seiring dengan berjalannya waktu pasien membutuhkan penyesuaian dosis dan variasi jenis obat hipertensi paru untuk dapat bertahan hidup.

“Di antara 15 jenis obat hipertensi paru yang ada di dunia, obat golongan Endothelin Receptor Antagonist (Bosentan, Ambrisentan, dan Macitentan) adalah yang terjangkau selain Beraprost, Iloprost, dan Sildenafil yang memang sudah tersedia di Indonesia. Sedangkan sisanya bisa mencapai ratusan juta untuk kebutuhan satu bulan,” jelas Arni Rismayanti.

Untuk itu, kelompok pasien, sebagai salah satu kelompok paling terdampak dari perjanjian perdagangan bebas I-EU CEPA menyampaikan penolakan keras terhadap perjanjian dagang ini. “Sekali lagi, kami menolak klausul TRIPS Plus di dalam I–EU CEPA. Pada situasi saat ini, Indonesia sangat mengandalkan obat-obatan generik untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Sebagian besar obat-obatan generasi baru masih dilindungi oleh paten sehingga harganya mahal dan sulit diakses. Jika kondisi ini terus berlangsung, terutama untuk penyakit seperti HIV, TB, dan kanker, maka beban biaya obat akan menjadi semakin mahal. Tidak hanya untuk perorangan, tetapi juga bagi negara,” tegas Ferry Norila.

Poin ini menjadi penting, mengingat bahwa Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menargetkan penyelesaian proses perundingan I-EU CEPA sebelum bulan Oktober 2024, dan bab Kekayaan Intelektual adalah salah satu dari 10 isu yang masih dirundingkan. “Kami tidak ingin Pemerintah Indonesia melakukan perundingan secara terburu-buru sehingga menyetujui klausul yang jelas-jelas merugikan, salah satunya adalah TRIPS Plus. Untuk itu, kami mendorong Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dari Kementerian Hukum dan HAM, selaku anggota dari Working Group on IPR, dan Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional dari Kementerian Perdagangan untuk terus mempertahankan posisi Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan tidak tunduk kepada tuntutan pihak lain dalam perundingan. No deal is better than a bad deal,” tutup Ferry.

Narahubung:
Agung Prakoso, Program Officer, Indonesia for Global Justice
E: agung.prakoso@igj.or.id

Budi Larasati, Project Officer, Indonesia AIDS Coalition
E: blarasati@iac.or.id


 source: Indonesia AIDS Coalition