Beban RI hadapi UE kian berat
All the versions of this article: [English] [Indonesia]
Kompas - 01 Februari 2023
Beban RI hadapi UE kian berat
Oleh Hendriyo Widi
Beban pemerintah serta eksportir Indonesia menghadapi rentetan sengketa dan hambatan dagang dari Uni Eropa kian berat. Oleh karena itu, RI perlu memperkuat tim negosiasi dan mempercepat realisasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa atau IEU-CEPA.
Di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), RI menggugat Uni Eropa (UE) yang dengan kebijakan Arah Energi Terbarukan (RED) II mendiskriminasikan produk turunan sawit, yakni biodiesel. RI juga telah mengajukan banding kasus sengketa larangan ekspor bijih nikel melawan UE.
Terbaru, RI mengajukan konsultasi ke WTO lantaran UE mengenakan bea masuk penyeimbang (BMP) atau countervailing duty dan anti-dumping (BMAD) atas lempeng baja canai dingin nirkarat (stainless steel cold-rolled flat/SSCRF) pada 24 Januari 2023. BMP yang dikenakan RI sebesar 21 persen dan BMAD 10,2-31,5 persen.
Di luar WTO, RI akan berhadapan dengan kebijakan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) UE. UE akan menerapkan tahap pertama kebijakan pada 1 Oktober 2023 untuk komoditas semen, pupuk, besi baja, aluminium, serta peralatan dan perangkat listrik. Hal itu mencakup pula produk-produk hilir atau turunan komoditas itu.
“UE akan menerapkan tahap pertama kebijakan pada 1 Oktober 2023 untuk komoditas semen, pupuk, besi baja, aluminium, serta peralatan dan perangkat listrik. Hal itu mencakup pula produk-produk hilir atau turunan komoditas itu.”
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, Selasa (31/1/2023), mengatakan, beban pemerintah dan eksportir Indonesia akan semakin besar menghadapi UE. Jika mau serius menghadapi rentetan sengketa dan potensi hambatan dagang dari UE, pemerintah perlu memperkuat tim negosiasi dan segera merealisasikan IEU-CEPA.
Tim negosiator tersebut tidak hanya mengandalkan pegawai negeri sipil dan pengacara yang paham perdagangan dan hukum internasional. Tim tersebut juga perlu memiliki akuntan yang memahami hukum dan tata kelola bisnis internasional.
”Hal itu penting mengingat tudingan subsidi atau dumping terhadap negara atau perusahaan tertentu pasti menyangkut juga audit laporan keuangan. Sejumlah perusahaan besar di Indonesia kerap menyewa chartered accountant, akuntan profesional bersertifikat internasional,” katanya ketika dihubungi di Jakarta.
Benny mencontohkan, dalam kasus subsidi baja nirkarat Indonesia, akuntan tersebut dapat membuktikan tudingan subsidi itu keliru berdasarkan audit laporan keuangan. Jadi, pembelaan atas tudingan itu tidak hanya merujuk pada hukum perdagangan, tetapi juga bisa dengan menunjukkan bukti audit laporan keuangan.
Salah satu tudingan UE dalam kasus baja nirkarat adalah menyangkut pemberian subsidi. Pemerintah China telah menghibahkan dana pada perusahaan tertentu yang berinvestasi mengembangkan industri besi baja di Indonesia.
Indonesia keberatan dengan tudingan itu karena tidak menunjukkan kekhususan yang disebut dalam Pasal 1.1, 2.1, dan 2.2 Perjanjian Tindakan Subsidi dan Penyeimbang (SCM). Dalam Pasal 1.1 disebutkan, suatu subsidi dianggap ada jika terdapat suatu bentuk pendapatan atau dukungan harga atas produk itu berdasarkan Pasal XVI Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) 1994 (Kompas, 31/1/2023).
”Dengan melibatkan akuntan profesional, Indonesia dapat memberikan bukti keuangan apakah perusahaan itu benar-benar diuntungkan atau tidak dari dana hibah atau subsidi tersebut. Jadi, tidak hanya sekadar pembelaan hukum,” ujar Benny.
Fragmentasi ekonomi
Benny juga berpendapat, sengketa dan hambatan dagang dari UE juga dapat dinegosiasikan secara bilateral. Misalnya, dengan memanfaatkan forum negosiasi IEU-CEPA dengan baik untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan dagang ataaupun investasi, termasuk di sektor besi baja dan nikel serta CBAM.
Sembari itu, pemerintah dan eksportir bisa mencari pasar ekspor baru. Tujuannya untuk mengalihkan produk-produk ekspor RI ke pasar-pasar baru jika terhambat masuk UE. Untuk besi baja nirkarat, misalnya, Indonesia bisa mengalihkannya ke kawasan Asia, Afrika, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi guna menopang pembangunan properti dan infrastruktur negara-negara tersebut.
”Indonesia juga dapat meningkatkan serapan besi baja di dalam negeri untuk menopang pembangunan infrastruktur, properti, dan otomotif,” kata Benny.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, tren ekspor besi baja Indonesia ke dunia dalam lima tahun terakhir (2017-2021) tumbuh 53,84 persen. Pada 2017, nilai ekspornya 3,34 miliar dollar AS dan pada 2021 meningkat drastis menjadi 20,93 miliar dollar AS. Pada Januari-Juni 2022, nilai ekspornya 14,48 miliar dollar AS, tumbuh 64,88 persen secara tahunan.
China mendominasi pasar tujuan ekspor besi baja Indonesia dengan kontribusi 64,17 persen dari total nilai ekspor besi baja pada semester I-2022. Adapun UE baru berkontribusi 4,87 persen. Negara di kawasan tersebut yang masuk 20 negara utama tujuan ekspor besi baja RI adalah Belgia, Spanyol, dan Belanda.
Pengamat perdagangan internasional Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menuturkan, UE merupakan salah satu produsen baja nirkarat besar dunia. UE mengenakan BMP dan BMAD terhadap salah satu jenis baja nirkarat RI itu karena produksi di dalam negeri terganggu.
Hal itu juga terkait larangan ekspor bijih nikel Indonesia. UE membutuhkan bijih nikel dari RI sebagai salah satu bahan baku baja nirkarat. Sementara RI membutuhkan hilirisasi bijih nikel untuk menopang industri besi baja dan baterai kendaraan listrik.
Untuk menyelesaikan persoalan itu, lanjut Fithra, RI bisa mencari alternatif pasar besi baja baru. Selain itu, RI juga dapat membuat kesepakatan dengan UE dalam negosiasi pembentukan IEU-CEPA.
Namun, terlepas dari sengketa itu, dunia tengah menghadapi meningkatnya risiko perpecahan atau fragmentasi yang dipicu konflik dagang Amerika Serikat-China dan perang Rusia-Ukraina. Fragmentasi ini muncul, antara lain, dalam bentuk proteksi atau restriksi dagang dan penurunan kerja sama internasional.
”Banyak negara pada akhirnya berfokus pada pembenahan ekonomi serta pembangunan dan proteksi industri di dalam negeri. Hal ini positif bagi negara tersebut, tetapi akan berdampak ke rantai pasok global atau sejumlah negara terkait,” katanya.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga menyebut risiko fragmentasi itu dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, pada Januari 2023. Dalam skenario terbatas, fragmentasi perdagangan global bisa menyebabkan 0,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) global hilang. Dalam skenario parah, dunia akan kehilangan 7 persen PDB.