Surat masyarakat sipil Indonesia mengenai RCEP dan perlindungan varietas tanaman
Surat Terbuka - 25 Februari 2019
Surat masyarakat sipil Indonesia mengenai RCEP dan perlindungan varietas tanaman
Kepada Yang terhormat
Bapak Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia.
Bapak Prof.Dr.Pratikno M.Soc.Sc.
Menteri Sekretariat Negara Republik Indonesia
Bapak Enggartiasto Lukita
Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Ibu Retno L.P. Marsudi
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Dr. Ir. H. Andi Amran Sulaiman, MP
Menteri Pertanian Republik Indonesia
Dr. Ir. Muhammad Syakir, M.S.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan)
Prof (Riset) Dr. Ir. Erizal Jamal, M.Si
Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian
Tentang: Negosiasi RCEP Tidak Boleh Mewajibkan Negara untuk Bergabung atau Melaksanakan Sistem UPOV (International Union for the Protection of New Varieties of Plants) dan dengan cara apapun Melemahkan Hak-hak Petani
Para penanda tangan di bawah ini menyampaikan dengan tegas agar negosiasi Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) tidak boleh menempatkan kewajiban apa pun kepada Indonesia atau negara berkembang lainnya untuk bergabung atau menerapkan sistem UPOV atau memaksakan kewajiban lain dan/atau pembatasan perlindungan varietas tanaman. Hendaknya dalam negosiasi RCEP tidak ada aturan apapun yang mempengaruhi pemenuhan Hak-hak Petani, terutama kebebasan
petani untuk menggunakan benih pilihan mereka sendiri ataupun mengembangbiakan materi.
Pertanian adalah hal yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Merupakan sumber pekerjaan terbesar kedua, khususnya di daerah pedesaan, dimana sekitar 33% dari tenaga kerja Indonesia dipekerjakan di sektor pertanian. Pertanian menyumbang 14% dari GDP, sementara itu 93% dari jumlah total petani Indonesia adalah pertanian keluarga kecil (petani kecil) dengan kepemilikan lahan rata-rata sebesar 0,6 hektar.
Indonesia juga merupakan negara pihak dalam Perjanjian Internasional Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (ITPGRFA), Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), Protokol Nagoya tentang Akses dan Pembagian Manfaat. Dan baru-baru ini Indonesia juga mendukung adopsi Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Petani.
Dengan latar belakang ini, sistem UPOV sama sekali tidak cocok untuk Indonesia.
UPOV menyempitkan ruang kebijakan bagi Indonesia dalam menerapkan langkah-langkah yang mencerminkan realitas nasional, melindungi kepentingan publik dan sistem benih petani. Faktanya, sistem UPOV bertentangan dengan persyaratan Pasal 6 dan 9 dari ITPGRFA. [1] Pasal 6 mengharuskan Para Pihak untuk mengembangkan dan memelihara kebijakan dan langkah-langkah hukum yang tepat untuk mempromosikan penggunaan sumber daya genetik tanaman pangan dan pertanian yang berkelanjutan termasuk dalam mendukung pengembangan dan pemeliharaan berbagai sistem pertanian, mempromosikan pemuliaan tanaman partisipatif, memperkuat kapasitas untuk mengembangkan varietas yang diadaptasi sesuai kondisi sosial, ekonomi dan ekologi, serta memperluas basis genetik tanaman dan lain-lain.
Pasal 9 dari ITPGRFA menyatakan bahwa menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mengambil langkah-langkah yang "melindungi dan mempromosikan" Hak-hak Petani termasuk hak petani untuk dapat menyimpan, menggunakan, menukar dan menjual benih pilihan petani, hak petani untuk melindungi pengetahuan tradisi dan untuk berpartisipasi secara adil dalam berbagi manfaat yang timbul dari pemanfaatan sumber daya genetik tanaman pada pangan dan pertanian.
Sebuah studi yang baru-baru ini dilakukan atas nama Kementerian Federal Jerman untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan menyimpulkan bahwa “Undang-undang PVP berbasis-UPOV 91 ditemukan tidak memajukan realisasi Hak-Hak Petani; hal tersebut justru secara efektif mendorong kearah yang berlawanan.” [2]
Sebuah penilaian dampak hak asasi manusia dari implementasi aturan UPOV 1991 di Filipina, Kenya, dan Peru menyimpulkan “… jika diterapkan dan ditegakkan, UPOV 91 akan memutuskan hubungan timbal balik yang menguntungkan antara sistem perbenihan formal dan informal”, dan “pembatasan penggunaan, pertukaran dan penjualan benih yang dilindungi dapat berdampak buruk terhadap hak atas pangan, karena benih mungkin menjadi lebih mahal atau lebih sulit untuk diakses” serta “hak asasi manusia lainnya, dengan mengurangi jumlah pendapatan rumah tangga yang tersedia untuk pangan, kesehatan atau pendidikan.” [3] Diperkirakan bahwa dengan bergabung atau mematuhi UPOV 91 akan meningkatkan biaya benih lebih dari 4 kali lipat. [4]
Penilaian lebih lanjut menambahkan bahwa pengetahuan tradisional yang diterapkan oleh petani dalam pemilihan, pelestarian dan penyimpanan benih adalah dasar dari inovasi lokal dan konservasi benih in-situ dan “pembatasan UPOV untuk menyimpan, bertukar, dan menjual benih yang dilindungi serta merta mengorbankan petani yang perlahan telah kehilangan pengetahuan mereka terkait dengan pemilihan dan pelestarian benih. Mereka juga secara perlahan akan kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang apa yang akan ditanam dan pada jenis tanah apa, bagaimana menanggapi serangan hama, atau bagaimana menyesuaikan sistem benih mereka dengan perubahan kondisi iklim." "Proses "deskilling" para petani – yang sudah mengalami penurunan keanekaragaman hayati lokal – bisa menjadi lebih akut dengan pembatasan penggunaan benih yang diperkenalkan melalui undang-undang serupa UPOV 91, dan dari perspektif hak asasi manusia, pembatasan praktik tradisional dan sistem manajemen benih ... berdampak buruk pada hak-hak petani, budaya, kaum minoritas, masyarakat adat, perempuan, serta keanekaragaman hayati dan hak atas pangan”.
Menurut General Comment 12 dari Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, hak atas pangan mengharuskan negara untuk secara aktif terlibat dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk memperkuat akses masyarakat dan pemanfaatan sumber daya [termasuk benih] dan sarana untuk memastikan mata pencaharian mereka, termasuk dengan tidak mengambil tindakan apa pun yang berakibat mencegah akses tersebut. Oleh karena itu, rezim kekayaan intelektual dan kebijakan benih harus sesuai dan kondusif untuk perwujudan hak atas pangan yang memadai.
Pelapor Khusus tentang Hak atas Pangan dalam laporannya tahun 2009 kepada Majelis Umum menyoroti bahwa “Negara - terutama negara-negara berkembang di mana fungsi tradisional, sistem benih petani bahkan lebih penting, baik untuk pencegahan erosi genetik dan mata pencaharian komunitas petani - harus merancang bentuk perlindungan sui generis pada varietas tanaman yang memungkinkan sistem ini untuk berkembang, walaupun ini artinya mengadopsi peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan UPOV ”. Dia menyimpulkan: “Tidak ada Negara yang harus dipaksa untuk membentuk sebuah rezim dalam perlindungan hak kekayaan intelektual yang melampaui persyaratan minimum dari Perjanjian TRIPS: perjanjian perdagangan bebas yang mewajibkan negara-negara untuk bergabung dengan Konvensi UPOV 1991 atau untuk mengadopsi undang-undang yang sesuai dengan UPOV, oleh karena itu, dipertanyakan." [5]
Kekhawatiran utama atas sistem UPOV adalah aturan ini akan memfasilitasi biopiracy sumber daya genetik. UPOV tidak mengakui prinsip-prinsip CBD bahwa akses terhadap sumber daya genetik lokal harus bedasarkan pada persetujuan informasi sebelumnya (prior informed consent/PIC) dan pembagian manfaat yang adil dan merata (benefit sharing/BS). Sebagai gantinya hal itu memungkinkan perlindungan PVP untuk varietas yang dikembangkan dengan menyalahgunakan sumber daya genetik lokal. Karenanya UPOV bertentangan dengan CBD dan upaya internasional untuk seperti WTO dan WIPO, di mana Indonesia dan negara berkembang lainnya telah mengadvokasi kewajiban terhadap pihak yang mengajukan penggunaan sumberdaya hayati agar mengungkapkan asal, bukti PIC dan pembagian manfaat sebagai syarat untuk menerima perlindungan kekayaan intelektual.
Secara singkat, sistem UPOV menawarkan kerangka hukum yang sangat kaku dan tidak sesuai untuk negara-negara berkembang. Sistem ini dikembangkan pada tahun 60-an untuk modalitas produksi benih yang berlaku di negara-negara maju terutama di Eropa. Indonesia dan negara berkembang lainnya tidak pernah berpartisipasi dalam negosiasi UPOV. Oleh karena itu, banyak ahli independen yang merekomendasikan bahwa negara-negara berkembang tidak boleh bergabung atau menerapkan sistem UPOV. [6]
Akhirnya, kami memuji dukungan Indonesia untuk "Deklarasi tentang hak petani dan masyarakat yang bekerja di daerah pedesaan" yang diadopsi oleh Dewan Hak Asasi Manusia dan Majelis Umum PBB yang mengharuskan Negara untuk "mengambil langkah-langkah dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak untuk benih petani dan masyarakat yang bekerja di daerah pedesaan” termasuk Hak Petani. Implementasi dari Deklarasi ini mengharuskan Indonesia untuk memiliki ruang kebijakan penuh dalam menerapkan langkah-langkah yang relevan.
Kami menekankan bahwa sistem UPOV akan menyebabkan ketidakkonsistenan dan melemahkan sistem perbenihan petani di Indonesia dan hak-hak internasional dan kewajiban dari Indonesia di bawah berbagai instrumen internasional. Yang terpenting, seharusnya tidak ada yang menghalangi hak petani Indonesia untuk secara bebas menyimpan, menggunakan, bertukar, dan menjual benih pilihan petani/mengembangbiakan materi.
Kami ingat Pasal 27.3 (b) Perjanjian WTO-TRIPS memungkinkan kebebasan penuh oleh negaranegara untuk mengadopsi sistem perlindungan varietas tanaman (PVP) yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pertaniannya. Hendaknya dalam negosiasi RCEP tidak ada yang akan memengaruhi dan membatasi kebebasan ini. Indonesia harus memiliki ruang kebijakan untuk menerapkan sistem PVP yang sesuai untuk sistem pertaniannya, melindungi sumber daya genetik tanaman lokal, para petani dan menjaga kepentingan umum serta memungkinkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dalam mengimplementasikan Deklarasi tentang Hak-hak Petani dan masyarakat yang bekerja di daerah pedesaan.
Hormat kami
1. Aliansi Petani Indonesia
2. Bina Desa
3. Farmer’s Initiative for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD)
4. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
5. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
6. Solidaritas Perempuan (Women’s Solidarity for Human Rights)
7. Indonesia for Global Justice
8. FIAN Indonesia
9. Yayasan Manikaya Kauci-Bali
10. Koalisi Bersama Rakyat (KIBAR) Kediri
11. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
12. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
13. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
14. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
15. Walhi Bali
16. Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS)
17. Indonesia AIDS Coalition
18. Jaringan Advokasi Tambang.
19. Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR).
20. Serikat Pekerja PLN Indonesia
Individu:
1. Shinte Galeshka
Footnotes:
[1] International Contradictions on Farmers’ Rights: The interrelations between the International Treaty, its Article 9 on Farmers’ Rights and Relevant Instruments of UPOV and WIPO, available at https://www.publiceye.ch/fileadmin/files/documents/Saatgut/2015_BD_Saatgut_EN_9-15_def.pdf
[2] Dapat dilihat di https://www.giz.de/fachexpertise/downloads/giz2015-en-upov-convention.pdf
[3] “Owning Seeds, Accessing Food – A human rights impact assessment of UPOV 1991 based on case studies in Kenya,
Peru and the Philippines,” October 2014. Dapat dilihat di https://www.publiceye.ch/en/topics-background/agriculture-andbiodiversity/seeds/owning-seeds-accessing-food/
[4] “Owning Seeds, Accessing Food – A human rights impact assessment of UPOV 1991 based on case studies in Kenya, Peru and the Indonesia,” October 2014. Dapat dilihat di at https://www.publiceye.ch/en/topics-background/agriculture-and-biodiversity/seeds/owning-seedsaccessing-food/;
[5] Olivier De Shutter, Seed policies and the right to food: enhancing agrobiodiversity and encouraging innovation, 2009,
available at http://www.srfood.org/images/stories/pdf/officialreports/20091021_report-ga64_seed-policies-and-the-right-tofood_en.pdf
[6] The UPOV Convention, Farmers’ Rights and Human Rights - An integrated assessment of potentially conflicting legal frameworks” published by Deutsche Gesellschaftfür Internationale Zusammenarbeit (GIZ) on behalf of the German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development” (June 2015) dapat dilihat di
https://www.giz.de/fachexpertise/downloads/giz2015-en-upov-convention.pdf; UNDP (2008) “Towards a Balanced Sui Generis Plant Variety Regime”, dapat dilihat di http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/povertyreduction/toward-a-balanced-sui-generis-plant-variety-regime.html; “Owning Seeds, Accessing Food – A human rights impact assessment of UPOV 1991 based on case studies in Kenya, Peru and the Philippines,” October 2014. Dapat dilihat di https://www.publiceye.ch/en/topics-background/agriculture-and-biodiversity/seeds/owning-seeds-accessing-food/; Carlos M. Correa et al. (2015), « Plant Variety Protection in Developing Countries: A Tool for Designing a Sui Generis Plant Variety Protection System: An Alternative to UPOV 1991 », APBREBES, dapat dilihat di http://www.apbrebes.org/news/new-publication-plant-variety-protection-developing-countries-tool-designing-sui-generis- plant